Baek Se-hee, Hadiah Kebaikan Terakhir dari Seorang Penyintas

Baek Se-hee, seorang penulis dari Korea Selatan, selamanya akan dikenang sebagai sosok yang dengan berani mengangkat tabir kerentanan mental melalui karyanya. Buku perdananya, “I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki,” bukan sekadar buku laris, melainkan sebuah pernyataan global. Judulnya yang memuat dikotomi jenius—antara keputusasaan yang besar dan hasrat sederhana untuk menikmati makanan jalanan—langsung merangkum konflik batin yang mendefinisikan perjuangan banyak orang: “Saya ingin mati, tetapi saya ingin makan tteokbokki.” Melalui warisan kejujuran ini, Baek Se-hee menjadi ikon keterbukaan mental yang meninggalkan jejak kemanusiaan abadi.

Mengubah Pergumulan Pribadi Menjadi Jendela Keterbukaan

Setelah lulus dari jurusan Sastra dan bekerja selama lima tahun di sebuah penerbit, Baek Se-hee memikul beban pribadi yang berat. Selama lebih dari satu dekade, ia berjuang melawan distimia—sejenis depresi ringan berkepanjangan—dan gangguan kecemasan. Di Korea Selatan, di mana isu kesehatan mental sering dianggap sebagai “kanker hati” yang harus disembunyikan, keberanian Baek Se-hee untuk bicara secara terbuka adalah sebuah tindakan revolusioner.

Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki adalah buah langsung dari proses terapinya sendiri yang ia jalani sejak 2017. Karya ini berbentuk memoar yang menyajikan dialog mentah dan transparan antara dirinya dan psikiater. Dengan menggunakan bahasa yang lugas dan format yang mudah diakses, ia berhasil mendekonstruksi stigma dan menawarkan ruang aman bagi pembaca. Dampaknya luar biasa, buku ini telah diterjemahkan ke lebih dari 25 bahasa dan terjual lebih dari satu juta eksemplar di seluruh dunia, membuktikan bahwa kejujurannya memiliki resonansi universal.

Tindakan Terakhir yang Paling Dermawan

Baek Se-hee tetap aktif berkreasi. Ia merilis karya fiksi pertamanya, A Will from Barcelona, pada Juni 2025, beberapa bulan sebelum kabar duka menyelimuti dunia literasi. Pada Kamis, 16 Oktober 2025, Baek Se-hee meninggal dunia pada usia 35 tahun. Untuk menghormati privasi, perlu dicatat bahwa penyebab pasti kematiannya tidak diungkapkan kepada publik.

Namun, kisah kepergiannya diwarnai oleh sebuah keputusan akhir yang mulia. Korea Organ Donation Agency mengonfirmasi bahwa Baek Se-hee telah mendonasikan lima organnya: jantung, paru-paru, hati, dan kedua ginjalnya. Tindakan ini berhasil memberikan kesempatan hidup baru bagi lima orang yang membutuhkan.

Donasi organ ini menjadi penutup naratif yang paling puitis dan kuat dari kisah hidupnya. Seseorang yang dalam karyanya bergumul dengan keinginan untuk hidup dan mati, akhirnya memilih untuk memberikan hadiah kehidupan kepada orang lain.

Warisan yang Lebih Besar dari Sekadar Buku

Baek Se-hee meninggalkan warisan yang melampaui dunia sastra. Ia mengajarkan keberanian untuk mengakui kerapuhan diri dan pentingnya mencari pertolongan.

Pada akhirnya, metafora tteokbokki yang melambangkan alasan kecil untuk bertahan hidup, bertransformasi menjadi tindakan kebaikan yang monumental yang memberikan alasan hidup bagi orang lain. Karya Baek Se-hee akan terus menjadi pengingat bahwa tidak mengapa untuk merasa “tidak baik-baik saja,” asalkan kita tidak pernah berhenti mencari dan memberi harapan.

Fauzi

Content Writer, Copywriter, Journalist

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama