Baek Se-hee mendefinisikan kegelisahan kontemporer dengan sebuah kalimat yang menusuk, "Saya ingin mati, tetapi saya ingin makan tteokbokki." Kalimat dari memoarnya yang fenomenal itu bukan hanya judul; ia adalah manifesto eksistensial yang tulus. Kejeniusannya terletak pada bagaimana ia mengolah konflik batin ini, menyajikannya melalui dua karya yang berbeda genre, yang pada akhirnya menunjukkan evolusi pencariannya akan harapan: dari realitas mentah menuju imajinasi yang membebaskan.
Karya pertamanya adalah dokumen bertahan hidup yang eksplisit, lahir dari pergumulan penulis melawan distimia—depresi ringan yang menetap—dan kecemasan. Analisis kritis atas judul bukunya segera mengungkap dikotomi yang mendalam: pertentangan antara dua hasrat menunjukkan bahwa pengalaman batinnya berada di area abu-abu, bukan hitam atau putih. Buku ini menjadi subversif di Korea Selatan karena formatnya. Baek Se-hee memilih untuk memublikasikan transkrip dialog langsung dengan psikiaternya, suatu tindakan kultural yang berani karena melawan hegemoni stigma. Keterbukaan ini adalah terapi bagi penulis, sementara bagi pembaca, buku ini menciptakan ruang aman kolektif yang memvalidasi perasaan "tidak cukup sakit" untuk dirawat, namun juga "tidak cukup sehat" untuk hidup.
Dalam memoar tersebut, tteokbokki berfungsi sebagai titik jangkar yang fundamental. Makanan jalanan yang sederhana dan mudah diakses itu menjadi metafora yang sempurna bagi alasan kecil terakhir untuk bertahan. Baek Se-hee mengajarkan bahwa penyelamatan tidak datang dari peristiwa epik, tetapi dari penerimaan terhadap kesenangan yang paling rendah hati. Ia membalikkan tuntutan budaya akan pencapaian besar, menegaskan bahwa keberanian terbesar adalah memilih untuk hidup, bahkan jika alasannya hanya sebungkus kue beras pedas.
Setelah merilis kisah pribadinya, Baek Se-hee mengambil lompatan signifikan ke ranah fiksi dalam A Will from Barcelona (dirilis Juni 2025). Perpindahan genre ini menandai upaya untuk menyembuhkan naratifnya sendiri. Jika Tteokbokki adalah dokumentasi realitas yang menuntut, fiksi adalah penjelajahan ke dunia yang bisa ia atur. Barcelona memungkinkan penulis untuk mencari resolusi dan kedamaian yang mungkin tidak ia temukan dalam realitas distimia yang berkelanjutan. Kedua karya ini, oleh karena itu, merupakan narasi berkesinambungan: satu adalah pencatatan penderitaan, dan yang lainnya adalah proyeksi harapan yang dicari melalui imajinasi.
Kisah Baek Se-hee mencapai klimaks yang tragis namun puitis dengan kepergiannya pada usia 35 tahun. Tindakan mulia mendonorkan lima organnya, termasuk jantung dan hati, adalah resolusi yang melampaui karya sastranya. Ia telah berjuang sepanjang hidupnya untuk menemukan alasan kecil untuk bertahan, dan pada akhirnya, ia memilih untuk memberikan alasan hidup kepada lima orang asing. Ia mengubah pergumulan seumur hidupnya menjadi kemurahan hati tertinggi. Warisan Baek Se-hee akan selalu dikenang karena mengajarkan kita untuk mengakui kerapuhan, dan akhirnya, menggunakan penderitaan itu untuk memberi kehidupan.
