Berita - Insiden kericuhan di Teras Malioboro 2 pada Sabtu malam (13/7/2024) membuka tabir ketegangan yang sudah lama membara antara para pedagang dan pemerintah daerah. Kericuhan ini merupakan puncak dari aksi protes pedagang yang menolak rencana relokasi jilid II.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menjalankan program relokasi pedagang dari trotoar Jalan Malioboro ke Teras Malioboro 2 sejak dua tahun lalu. Program ini bertujuan untuk menata kawasan Malioboro agar lebih rapi dan memberikan legalitas kepada para pedagang. Namun, sejak dipindahkan ke Teras Malioboro 2, banyak pedagang yang merasa pendapatannya menurun drastis.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengklaim bahwa pemerintah telah mencapai kesepakatan dengan para pedagang terkait tempat sementara di Teras Malioboro 2. "Kami kan sudah bicara dan sudah bicara bahwa di situ hanya dua tahun," ujar Sultan pada Senin (15/7/2024). Sultan menegaskan bahwa kesepakatan ini dilakukan dengan individual pedagang, bukan dengan lembaga koperasi seperti Koperasi Tri Dharma.
Namun, Ketua Paguyuban Tri Dharma, Arif Usman, membantah pernyataan ini. Menurutnya, sejak awal, pemerintah telah melibatkan koperasi dalam proses relokasi. "Pelibatan individu hanya untuk administrasi, tetapi rembukannya tetap dengan lembaga," tegas Usman.
Wiji, salah satu pedagang Teras Malioboro 2, mengungkapkan bahwa pendapatan mereka anjlok sejak pindah ke tempat baru. "Dulu, saya bisa membawa pulang hingga Rp10 juta saat peak season. Sekarang, membawa pulang Rp100.000 saja sudah terasa seperti berkah," keluhnya. Pedagang merasa tidak dilibatkan dalam proses relokasi jilid II dan menuntut transparansi serta komunikasi dua arah dari pemerintah.
Penjabat Walikota Jogja, Sugeng Purwanto, menyebut penataan pedagang Teras Malioboro 2 dilakukan untuk memberikan aspek legalitas dan meningkatkan kenyamanan wisatawan. "Penataan ini juga bukan untuk menjadikan pemasukan pedagang menurun, tapi justru menjadikannya semakin tertata dan mendatangkan lebih banyak pengunjung," ujarnya. Sugeng menambahkan bahwa upaya persuasi terus dilakukan untuk mengondusifkan situasi.
Kericuhan bermula ketika UPT Malioboro menutup pintu Teras Malioboro 2 pada Sabtu malam, mencegah pedagang menggelar lapak di trotoar. Pedagang, yang merasa tak dilibatkan dalam proses relokasi, marah dan memprotes tindakan tersebut. Ekwanto, Kepala UPT Kawasan Cagar Budaya Kota Jogja, menyatakan penutupan pintu dilakukan untuk menegakkan aturan bahwa pedagang tidak boleh lagi berjualan di trotoar.
Plh. Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY, Wisnu Hermawan, mengungkapkan bahwa pembangunan gedung baru tempat relokasi pedagang sudah dimulai di dua lokasi. Pengerjaan ini diperkirakan memakan waktu hingga akhir tahun 2024, dengan harapan proses penempatan pedagang bisa dimulai tahun depan.
Kericuhan di Teras Malioboro 2 mengungkapkan ketidakpuasan pedagang terhadap kebijakan relokasi yang dianggap tidak transparan dan merugikan. Meski pemerintah berupaya menata kawasan Malioboro agar lebih rapi dan nyaman, suara pedagang yang merasa pendapatan mereka anjlok dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan masih harus didengar.
Ke depan, penting bagi pemerintah untuk melibatkan semua pemangku kepentingan secara lebih partisipatif agar kebijakan yang diambil benar-benar menguntungkan semua pihak.