Penantianmu yang panjang akhirnya usai. Setelah banyak waktu kau habiskan dengan menunggu, dalam diam kau sebut aku sebagai cinta. Dipanjatkannya doa, kepada Tuhan yang menurutmu “penolong dan tempat mengadu”. Dahulu, keluh dan tabah kau kenal sebagai bentuk kepasrahan, tapi nyatanya semua itu hanyalah tipu daya belaka. Ketidaktahuan dan tidak ingin mengakui, bahwa segala sesuatu tidak bisa didapatkan tanpa adanya upaya.
Di tempurung kepalamusegala imaji menjadi aku.
Bayang-bayang tubuh dan gerak langkah
laiknya ritual, diajarkan sebagai dogma
pedoman dan pegangan, tentang bagaimana
segala urusan diserahkan kepada Tuhan yang satu.
Di tempurung kepalamu, aku menjadi ritus.
Di sana, engkau bersenandung. Membacakan himne
sebagai puja mantra, atas ketidaktahuan dan ketidakmampuan.
Di tempurung kepalamu, aku menjadi bayang-bayang.
Harap getir, masa depan yang kau tunggu.
Sepanjang waktu, kegelisahan senantiasa mengiringi langkahmu. Di setiap sudut-sudut waktu kala seruan datang, kau panjatkan aku menjadi doa, harap, asa, dan semoga. Sesekali kau menyebutnya sebagai janji dan bulir-bulir air mata yang mengalir menjadi tanda, segala urusan dipasrahkan.
Telah kuhaturkan salam, kepada Tuhansegalanya diserahkan. Masa depan
dan pertimbangan-pertimbangan
tak pernah dikecualikan, selain engkau.
Cinta dan rindu ini hanya untukmu.
Pada baris-baris doa yang kulafalkan,
engkau menjadi alasan. Simpuh dan keinginan-keinginan.