Ada gejolak. Tak bisa kuutarakan
padamu yang enggan menerimaapalagi membaca bahasa tubuhku.
Ada cinta yang perlahan-lahan merongrong
wibawa rasaku. Ia seakan mencabik-cabik
ingatan dan bagaimana
caranya mengutarakan perasaan
tanpa menimbulkan sesal;
membawaku pada getir
panjang pedih penolakan.
Pernah seseorang berkata padaku,
ia mengingatkan: Cinta adalah
cara Tuhan menyampaikan
sebuah kisah dan cara pendewasaan.
Proses untuk mengenal diri sendiri
tanpa pernah meragukan kenyataan
yang Ia beri.
Sampai saat ini hatiku masih
serapuh dahulu
dan dadaku selalu saja bergemuruh
meski fatwa-fatwa bijak datang
dari banyak penjuru
;Dari kasih seorang sahabat dan kerabat
Sesekali ingatanku tak lupa, ada kisah silam
yang diperlihatkan Tuhan:
Perasaan kuat adakalanya tak utuh
Dari kisah itu aku belajar dan
memahami satu kesimpulan:
Jika kelak perasaan
tak bisa kau tabahkan
Maka kembalilah mengenang
seperti apa menjadi bulan
yang begitu pasrah ditelan kelabu awan.
Mungkin dengan begitu
kau kembali belajar
makna hidup dan segala perjalanan
yang menanti di depan tak begitu lapang.
Aku hanya ingin berkata untukmu
yang saat ini (masih) kusayang:
Mungkin kita harus banyak belajar
pada banyak kejadian
–fakta dan kematian
tentang bagaimana mengambil keputusan
sebelum akhirnya memilih
meninggalkan atau bertahan.
Bukankah ditinggalkan itu
begitu menyakitkan?
Semoga saja cintaku masih untukmu
sampai nanti usia tak lagi kuperhitungkan.
Semoga, penyesalan bukanlah
akhir yang harus kuselesaikan.
Untuk Tuhan yang mengajarkan
Tabahkan batinku dan kuatkan jiwaku
agar rapuh tak lagi ada pada cintaku
siapa tahu dengan begitu, aku tak perlu
menyalahkan ketidakmampuanku.
Yogyakarta, 06 Oktober 2019