Opini - Di sebuah sudut Yogyakarta yang ramai, tepatnya di Teras Malioboro 2, suasana mendadak memanas pada Sabtu malam (13/7/2024). Pedagang-pedagang yang biasanya ramah kini berwajah tegang. Di antara mereka ada Wiji, seorang pedagang yang telah menggelar lapaknya di Malioboro selama lebih dari dua dekade.
Malam itu, Wiji dan rekan-rekannya melakukan aksi protes. Mereka membawa dagangan dan menggelar lapak di trotoar, sebuah pemandangan yang mengingatkan pada masa lalu sebelum relokasi pertama. Di dalam benaknya, terngiang kembali masa-masa ketika Malioboro adalah ladang emas yang memberikan rezeki melimpah. Namun, dua tahun di Teras Malioboro 2 telah mengubah segalanya.
“Dulu, saya bisa membawa pulang hingga Rp10 juta saat peak season,” kenang Wiji, matanya berkaca-kaca. “Sekarang, membawa pulang Rp100.000 saja sudah terasa seperti berkah.”
Pada awalnya, Wiji dan pedagang lainnya menerima relokasi dengan harapan besar. Mereka dijanjikan lapak yang lebih tertata dan legalitas yang lebih jelas. Tapi, realitas yang mereka hadapi jauh dari harapan. Di dalam Teras Malioboro 2, kondisi lapak sangat panas dan sirkulasi pembeli tidak merata. Pedagang di bagian depan mungkin masih bisa tersenyum, tetapi mereka yang di bagian belakang harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan sedikit pembeli.
Di sisi lain, pemerintah DIY, melalui Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyatakan bahwa pemerintah telah mencapai kesepakatan dengan pedagang. “Kami kan sudah bicara dan sudah bicara bahwa di situ hanya dua tahun,” ujar Sultan. Namun, kesepakatan ini, menurut Sultan, dilakukan dengan individual pedagang, bukan melalui koperasi Tri Dharma yang mewadahi mereka.
Arif Usman, Ketua Paguyuban Tri Dharma, memiliki pandangan berbeda. “Sejak awal, pemerintah sudah melibatkan koperasi. Pelibatan individu hanya untuk administrasi, tetapi rembukannya tetap dengan lembaga,” tegasnya. Pernyataan ini semakin menguatkan perasaan pedagang bahwa mereka tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses relokasi jilid II yang sedang direncanakan.
Penjabat Wali Kota Jogja, Sugeng Purwanto, mencoba meredam ketegangan dengan menjelaskan bahwa penataan ini bukan untuk merugikan pedagang, melainkan untuk memberikan aspek legalitas dan kenyamanan bagi wisatawan. Namun, di tengah hiruk-pikuk penutupan pintu Teras Malioboro 2 oleh UPT Malioboro sebagai langkah antisipasi agar pedagang tidak berjualan di trotoar, ketegangan semakin sulit dihindari.
Kisah Wiji dan pedagang lainnya adalah potret dari dinamika perubahan yang sering kali menyisakan cerita pahit di balik janji manis kemajuan. Dalam benak mereka, terngiang harapan sederhana yang pernah mereka pegang: kesejahteraan. Namun, perjalanan mereka masih panjang dan penuh liku.
“Kami hanya ingin diajak bicara, duduk bersama, dan dilibatkan dalam proses ini,” ujar Wiji dengan nada haru. “Kami ingin komunikasi dua arah, bukan satu arah seperti selama ini.”
Di balik kericuhan Teras Malioboro 2, ada cerita tentang perjuangan, harapan, dan mimpi para pedagang kecil yang tak kunjung terwujud. Mereka adalah saksi bisu dari transformasi kota yang terus bergerak maju, meninggalkan jejak-jejak nostalgia di sepanjang jalan Malioboro yang legendaris.