Koruptor dan Penjara: Bukan Hukuman, Melainkan Tempat Persinggahan

Koruptor dan Penjara: Bukan Hukuman, Melainkan Tempat Persinggahan

Swara Pranoto Jiwo -- Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merugikan negara, merampas hak masyarakat, dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, hukuman bagi para koruptor di Indonesia sering kali terasa tidak lebih dari formalitas belaka. Jika dibandingkan dengan negara lain yang menerapkan hukuman berat dan sistem pengawasan ketat, Indonesia masih jauh tertinggal dalam memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi.

Secara hukum, Indonesia memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menetapkan hukuman maksimal seumur hidup bagi pelaku. Sayangnya, vonis yang dijatuhkan sering kali jauh dari harapan publik. Banyak kasus menunjukkan bahwa hukuman bagi koruptor justru lebih ringan dibandingkan dengan pelaku tindak pidana lainnya. Beberapa mantan pejabat yang terbukti menggelapkan miliaran hingga triliunan rupiah hanya menerima hukuman 2 hingga 5 tahun penjara, bahkan ada yang mendapatkan vonis lebih rendah dari itu.

Kasus yang menjadi sorotan adalah vonis terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang hanya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dalam kasus korupsi dana bantuan sosial COVID-19, sementara perbuatannya sangat merugikan rakyat kecil di masa krisis. Begitu pula dengan mantan Ketua DPR Setya Novanto yang divonis 15 tahun penjara atas kasus korupsi proyek e-KTP senilai Rp2,3 triliun, namun masih mendapat fasilitas yang mempermudah hidupnya di dalam penjara.

Selain itu, sistem remisi dan bebas bersyarat semakin memperburuk keadaan. Banyak koruptor yang belum menjalani setengah masa hukumannya sudah mendapatkan pemotongan masa tahanan dengan alasan 'berkelakuan baik'. Fenomena ini menjadikan penjara sebagai persinggahan sementara, bukan sebagai tempat rehabilitasi atau hukuman yang menimbulkan efek jera.

Realitas di dalam penjara menunjukkan ketimpangan yang mencolok antara narapidana koruptor dan pelaku tindak pidana lainnya. Beberapa kasus menunjukkan bahwa fasilitas di dalam penjara bagi koruptor sangat berbeda dari tahanan biasa. Mulai dari sel yang lebih nyaman, akses makanan dari luar, hingga ruang pertemuan yang leluasa. Sejumlah koruptor bahkan kedapatan masih dapat menjalankan bisnis mereka dari balik jeruji besi, seolah hukum tidak memiliki dampak nyata terhadap mereka.

Contoh nyata adalah kasus yang menimpa Gayus Tambunan, seorang pegawai pajak yang terlibat dalam skandal suap besar dan masih bisa bepergian ke luar tahanan dengan bebas menggunakan identitas palsu. Kasus lainnya adalah adanya temuan fasilitas mewah yang dinikmati oleh mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, di dalam penjara, termasuk akses khusus yang tidak dimiliki oleh narapidana lain.

Bandingkan dengan China, yang tidak ragu memberikan hukuman mati bagi koruptor dalam kasus-kasus besar. Atau Korea Selatan yang menjebloskan mantan presidennya ke penjara selama lebih dari dua dekade. Sementara di Singapura, sistem zero tolerance membuat pejabat publik berpikir ribuan kali sebelum melakukan tindak korupsi karena hukuman yang pasti dan berat.

Korupsi bukan sekadar kejahatan individu, tetapi juga kejahatan yang merugikan rakyat secara sistematis. Oleh karena itu, seharusnya aset hasil korupsi disita sepenuhnya untuk mengembalikan uang negara. Sayangnya, mekanisme penyitaan aset di Indonesia masih jauh dari efektif. Beberapa koruptor setelah bebas dari penjara tetap dapat menikmati kekayaan hasil korupsi mereka yang belum tersentuh hukum. Seharusnya, negara mengambil langkah tegas seperti Arab Saudi yang langsung menyita aset para pelaku korupsi untuk mengembalikan kerugian negara.

Kasus penyitaan aset yang tidak maksimal bisa terlihat pada kasus Bank Century, di mana para pelaku skandal bailout ratusan triliun rupiah tetap memiliki kekayaan yang tidak sepenuhnya dikembalikan ke negara. Begitu pula dengan kasus BLBI, di mana beberapa konglomerat yang terlibat tidak sepenuhnya mengembalikan dana yang mereka gelapkan meskipun sudah ada keputusan hukum.

Di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, koruptor sering kali mengalami hukuman sosial yang berat. Mereka dijauhi masyarakat, kehilangan reputasi, bahkan beberapa memilih mengundurkan diri sebelum dijatuhi vonis. Di Indonesia, hukuman sosial ini hampir tidak berjalan. Tidak sedikit koruptor yang masih mendapat simpati, bahkan kembali menduduki jabatan publik setelah menjalani hukuman.

Salah satu contohnya adalah mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, yang meski terbukti melakukan tindak korupsi masih memiliki basis pendukung yang menginginkan ia kembali mencalonkan diri setelah bebas nanti. Fenomena ini menunjukkan bahwa tanpa hukuman yang tegas dan pengawasan ketat, korupsi akan tetap menjadi penyakit laten yang sulit diberantas.

Melihat berbagai kelemahan dalam sistem hukuman koruptor di Indonesia, ada beberapa langkah yang bisa diterapkan untuk menciptakan efek jera yang lebih kuat:

  1. Hukuman Minimal 10 Tahun Tanpa Remisi – Setiap koruptor harus menjalani hukuman minimal 10 tahun tanpa ada keringanan apapun, terutama bagi pejabat tinggi.
  2. Penyitaan Total Aset Koruptor – Seluruh aset hasil korupsi harus disita dan dikembalikan ke negara.
  3. Larangan Jabatan Seumur Hidup – Koruptor seharusnya dilarang menduduki jabatan publik selamanya.
  4. Penjara yang Ketat, Bukan Fasilitas Mewah – Penjara harus menjadi tempat hukuman yang benar-benar membuat koruptor kehilangan kenyamanan, bukan tempat istirahat mewah.
  5. Ekspos Publik untuk Efek Jera – Identitas koruptor harus dipublikasikan secara luas agar masyarakat tidak melupakan kejahatan mereka.

Tanpa langkah-langkah tegas ini, korupsi akan tetap menjadi lingkaran setan yang sulit diputus. Hukuman bagi koruptor di Indonesia harus bertransformasi dari simbolisme ke realitas yang benar-benar memberikan efek jera. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap keadilan akan semakin tergerus, dan korupsi akan tetap menjadi ‘bisnis’ yang menguntungkan bagi mereka yang berani bermain kotor dalam sistem pemerintahan.

Fauzi

Content Writer, Copywriter, Journalist

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama