Keadilan di Era Digital: Ketika Hukuman Ditentukan oleh Trending Topic

Keadilan di Era Digital: Ketika Hukuman Ditentukan oleh Trending Topic
Swara Pranoto Jiwo -- Dalam era digital yang serba cepat, keadilan sering kali bergerak mengikuti arah algoritma. Kasus-kasus hukum yang mendapat perhatian luas di media sosial cenderung lebih cepat ditindaklanjuti dibandingkan dengan perkara yang sepi dari sorotan publik. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah keadilan masih berlaku setara, ataukah ia kini bergantung pada seberapa viral suatu kasus di dunia maya?

Di Indonesia, banyak kasus hukum baru mendapat respons cepat ketika menjadi trending di media sosial. Sejumlah kasus kriminal, pelecehan, hingga korupsi sering kali tidak mendapat perhatian serius hingga publik bersuara melalui tagar dan petisi daring. Jika suatu kasus cukup viral, aparat penegak hukum, yang sebelumnya lamban, tiba-tiba menunjukkan ketegasan dalam menindaklanjuti.

Ambil contoh kasus penganiayaan yang melibatkan anak pejabat beberapa waktu lalu. Sebelum menjadi topik panas di media sosial, kasus ini sempat tertahan tanpa perkembangan yang jelas. Namun, begitu masyarakat ramai memperbincangkannya, tekanan publik memaksa penegak hukum untuk bertindak lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa viralitas bukan sekadar fenomena internet, tetapi telah menjadi faktor yang memengaruhi jalannya keadilan.

Sebaliknya, banyak kasus dengan korban yang tak memiliki akses ke media sosial atau dukungan massa dibiarkan menggantung dalam ketidakpastian. Ini mencerminkan ketimpangan dalam penegakan hukum yang semakin bergantung pada narasi yang dibangun oleh algoritma digital.

Media sosial beroperasi dengan algoritma yang menampilkan konten berdasarkan interaksi pengguna. Semakin banyak orang membicarakan suatu kasus, semakin besar kemungkinan kasus tersebut muncul di linimasa publik. Ini berarti keadilan bukan lagi semata-mata berada di tangan aparat penegak hukum, melainkan juga di tangan warganet yang menentukan apakah suatu kasus pantas mendapat perhatian lebih besar.

Namun, ada bahaya tersendiri dalam menjadikan media sosial sebagai ruang pengadilan utama. Viralnya sebuah kasus tidak selalu didasarkan pada fakta yang objektif. Sering kali, opini publik terbentuk oleh potongan-potongan informasi yang belum tentu akurat, menciptakan tekanan yang dapat membuat sistem hukum bekerja berdasarkan persepsi ketimbang bukti nyata. Ini menimbulkan risiko mob justice, di mana seseorang bisa dihukum oleh opini publik sebelum melalui proses peradilan yang adil.

Kasus-kasus besar yang menyangkut tokoh terkenal atau pejabat sering kali lebih mudah viral, sementara kasus yang menimpa rakyat kecil kerap luput dari perhatian. Misalnya, skandal korupsi berskala besar lebih sering mendapat sorotan dibandingkan kasus ketidakadilan di tingkat akar rumput. Ini mencerminkan bahwa akses terhadap keadilan tidak merata, dengan mereka yang memiliki daya tarik media lebih mungkin mendapatkan tindakan cepat dibandingkan mereka yang kurang dikenal.

Selain itu, fenomena ini juga berdampak pada cara aparat penegak hukum bekerja. Mereka yang ingin mempertahankan citra institusi lebih cenderung menangani kasus yang sedang ramai dibicarakan ketimbang kasus yang sepi dari perhatian publik. Hal ini menciptakan sistem hukum yang reaktif terhadap tekanan sosial alih-alih menjalankan keadilan secara proaktif dan konsisten.

Untuk mengatasi ketimpangan ini, reformasi dalam sistem hukum diperlukan agar keadilan tidak lagi bergantung pada tingkat kepopuleran suatu kasus. Beberapa langkah yang bisa diterapkan antara lain:
  1. Mekanisme Pengawasan Transparan: Setiap kasus hukum, baik yang viral maupun tidak, harus mendapat perhatian yang sama. Pengawasan independen perlu diperkuat agar tidak ada kasus yang hanya diproses karena tekanan publik.
  2. Meningkatkan Akuntabilitas Aparat Hukum: Polisi, jaksa, dan hakim harus memiliki standar profesional yang ketat dalam menangani kasus tanpa menunggu tekanan media sosial. Evaluasi berkala terhadap kinerja mereka dapat mengurangi ketergantungan pada opini publik.
  3. Edukasi Publik Mengenai Hukum: Masyarakat harus didorong untuk lebih memahami proses hukum agar tidak hanya mengandalkan viralitas dalam memperjuangkan keadilan. Kesadaran akan hak-hak hukum dapat membantu mempercepat penyelesaian kasus tanpa perlu menunggu sorotan media sosial.
  4. Membatasi Trial by Social Media: Meskipun media sosial bisa menjadi alat advokasi yang kuat, perlu ada batasan agar tidak menimbulkan vonis tanpa bukti yang sah. Penyebaran informasi yang akurat harus diutamakan agar publik tidak terjebak dalam bias informasi.
Hukum harus berjalan dengan prinsip yang adil dan setara bagi semua orang, bukan berdasarkan seberapa banyak tagar yang digunakan di media sosial. Jika sistem hukum terus bergantung pada kepopuleran kasus, maka masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap perhatian media akan semakin tertinggal dalam memperoleh keadilan.

Keadilan sejati tidak boleh bersandar pada algoritma. Reformasi hukum yang lebih independen dari tekanan digital harus menjadi prioritas agar setiap individu mendapatkan hak yang sama di depan hukum, tanpa harus viral terlebih dahulu. Sebab, di dunia yang ideal, keadilan tidak membutuhkan panggung untuk ditegakkan.

Resensi Buku No Viral No Justice Karya Y. Sumardiyanta

Media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membawa kemudahan luar biasa dalam kehidupan manusia. Informasi bisa diakses dengan cepat, komunikasi tak lagi dibatasi jarak, dan berbagai aktivitas menjadi lebih praktis. Namun, di sisi lain, medsos juga menjadi jebakan berbahaya yang menggerus kualitas kehidupan sosial dan mental penggunanya.

Fenomena kecanduan media sosial semakin mengkhawatirkan. Warganet menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari untuk berselancar di platform seperti Google, WhatsApp, Facebook, Instagram, X, YouTube, dan TikTok. Pola hidup yang dulunya aktif kini berubah menjadi gaya hidup yang pasif, di mana interaksi tatap muka tergantikan oleh layar. Dampaknya, masyarakat semakin sulit membangun hubungan sosial yang sehat. Empati berkurang, kepedulian terhadap sesama menurun, dan kecerdasan emosional tergerus.

Lebih parah lagi, kecanduan ini merusak kesehatan mental. Warganet lebih mudah stres, gelisah, dan terjebak dalam pola pikir narsistik. Banyak yang terobsesi dengan citra diri di dunia maya, mengukur kebahagiaan dari jumlah like dan komentar. Dunia virtual menjadi lebih nyata dibandingkan realitas, menciptakan kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan.

Ketidakmampuan membedakan dunia nyata dan dunia maya bukan sekadar isu psikologis, tetapi juga dapat berujung pada tragedi. Kasus kriminal yang muncul akibat media sosial semakin sering terjadi. Seorang pelajar SMK berusia 16 tahun tega membunuh lima orang sekaligus—pasangan suami istri beserta tiga anak mereka—hanya karena cintanya ditolak. Lebih mengerikan lagi, pelaku menyetubuhi mayat kekasihnya. Ini bukan sekadar tindakan brutal, tetapi juga mencerminkan betapa media sosial telah mengubah cara berpikir manusia secara ekstrem.

Tak hanya itu, kasus sepasang guru SD yang kedapatan berbuat mesum di ruang guru saat murid-muridnya menunggu kegiatan ekstrakurikuler menunjukkan betapa kesadaran moral bisa lumpuh akibat pengaruh digital. Mereka berdalih khilaf, tetapi di balik itu, bisa jadi mereka telah kehilangan batasan antara yang pantas dan tidak akibat paparan konten-konten yang semakin bebas di media sosial.

Lebih jauh lagi, efek negatif medsos juga tampak dalam kasus tragis pasangan pengantin baru yang meregang nyawa di kamar hotel saat bulan madu. Mereka ditemukan dengan luka sekujur tubuh, cakaran di kulit, serta lidah yang nyaris putus. Diduga kuat, insiden ini terjadi akibat konsumsi obat kuat yang dipromosikan secara berlebihan di platform digital. Iklan bombastis yang menjanjikan keperkasaan justru berakhir dengan hilangnya nyawa.

Masyarakat perlu menyadari bahwa ketergantungan pada internet, gadget, dan media sosial telah menjadi penyakit sosial yang serius. Jika tidak dikendalikan, dampaknya akan semakin luas dan merusak. Oleh karena itu, puasa digital atau detoks gadget menjadi solusi yang harus mulai diterapkan.

Revitalisasi kebugaran spiritual menjadi langkah penting untuk keluar dari jerat digital. Mengurangi ketergantungan pada medsos, membatasi penggunaan gadget, dan mengalihkan perhatian pada aktivitas yang lebih bermakna seperti membaca dan menulis dapat membantu mengembalikan keseimbangan dalam kehidupan. Membaca dan menulis bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi juga cara efektif untuk melatih fokus, meningkatkan imajinasi, serta membangun ketahanan mental.

Media sosial seharusnya menjadi alat yang mempermudah kehidupan, bukan justru membelenggu. Kesadaran akan bahaya ketergantungan digital harus ditanamkan sejak dini, agar generasi mendatang tidak terjebak dalam ilusi dunia maya yang semu.

Saatnya kembali ke dunia nyata, membangun hubungan sosial yang lebih sehat, serta meningkatkan kualitas hidup dengan aktivitas yang lebih bernilai. Sebab, hidup yang sesungguhnya bukanlah tentang seberapa banyak notifikasi yang kita terima, tetapi seberapa dalam kita merasakan dan memahami dunia di sekitar kita.
Fauzi

Content Writer, Copywriter, Journalist

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama