Bumi Manusia, Pulau Buru, dan Perlawanan

Bumi Manusia, Pulau Buru, dan Perlawanan

Swara Pranoto Jiwo -- Proses pembuatan Bumi Manusia, bagian pertama dari Tetralogi Buru, merupakan kisah yang luar biasa karena lahir dari situasi penuh keterbatasan dan tekanan politik. Novel ini ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer selama ia menjalani hukuman sebagai tahanan politik di Pulau Buru, tempat ia ditahan tanpa pengadilan selama 11 tahun oleh rezim Orde Baru. Namun, dalam situasi yang penuh tekanan, Pramoedya berhasil menciptakan sebuah mahakarya yang kini dianggap sebagai salah satu novel Indonesia terpenting sepanjang masa.

Ketika pertama kali diasingkan ke Pulau Buru pada tahun 1969, Pramoedya dan tahanan lainnya tidak diizinkan memiliki buku, alat tulis, atau bahan bacaan lainnya. Larangan ini menjadi hambatan besar bagi seorang intelektual yang hidupnya berkutat dengan literasi dan pemikiran. Namun, Pramoedya tidak menyerah begitu saja. Dengan daya ingat yang kuat serta wawasan luas yang telah ia bangun sejak lama, ia mulai menceritakan kisah-kisah sejarah kepada sesama tahanan.

Salah satu kisah yang ia tuturkan adalah perjalanan hidup seorang pemuda pribumi dalam menghadapi kolonialisme di Hindia Belanda. Kisah ini terinspirasi dari sejarah pergerakan nasional serta tokoh-tokoh seperti Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, yang dianggap sebagai salah satu pelopor pers dan pemikir nasionalisme Indonesia. Dari cerita-cerita yang awalnya hanya disampaikan secara lisan, para tahanan lain turut berperan dalam mengingatkan dan mengoreksi detail cerita. Dengan cara ini, kisah Bumi Manusia mulai terbentuk dalam benak Pramoedya sebelum akhirnya dituliskan secara fisik.

Beberapa tahun setelah diasingkan, Pramoedya akhirnya diberikan izin untuk menulis. Dengan alat tulis seadanya—kadang menggunakan kertas bekas, bahkan potongan kertas semen—ia mulai menuangkan kisah yang sebelumnya hanya ada dalam ingatan dan tuturan lisan. Proses penulisan ini tidak mudah karena ia harus menyesuaikan dengan keterbatasan fasilitas serta ancaman penyitaan oleh otoritas penjara.

Dalam prosesnya, Pramoedya sangat teliti dalam menyusun latar sejarahnya. Ia menggunakan ingatannya tentang berbagai sumber sejarah yang pernah ia baca sebelum dipenjara, termasuk arsip kolonial dan dokumen-dokumen Belanda. Ia juga memasukkan pemikiran kritis mengenai ketidakadilan kolonialisme dan bagaimana sistem sosial saat itu bekerja. Minke, tokoh utama dalam Bumi Manusia, bukan sekadar karakter fiksi, tetapi juga refleksi dari perjuangan intelektual pribumi di masa penjajahan.

Setelah berhasil menyelesaikan naskahnya, tantangan berikutnya adalah bagaimana memastikan karyanya bisa keluar dari Pulau Buru. Pramoedya menyembunyikan beberapa bagian tulisannya agar tidak disita oleh petugas penjara. Ia juga menyalin beberapa bagian dengan bantuan rekan-rekannya agar jika salah satu naskah disita, masih ada cadangan. Dalam kondisi penuh risiko ini, ia tetap berusaha agar karyanya dapat bertahan.

Ketika akhirnya ia dibebaskan pada tahun 1979, naskah Bumi Manusia berhasil keluar dari Pulau Buru dan diterbitkan pada tahun 1980 oleh Hasta Mitra, sebuah penerbit independen yang didirikan oleh Pramoedya dan rekan-rekannya. Namun, tak lama setelah penerbitannya, novel ini langsung dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Alasan pelarangan adalah karena isi buku ini dianggap berbahaya dan dapat menggugah kesadaran rakyat mengenai ketidakadilan kolonialisme serta ketimpangan sosial yang masih terjadi.

Meski dilarang di Indonesia, Bumi Manusia mendapat perhatian besar dari dunia internasional. Karya ini diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapat banyak pujian dari kritikus sastra dunia. Pramoedya pun terus menulis dan menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya meskipun dalam kondisi yang sulit.

Bumi Manusia bukan sekadar novel sejarah atau kisah perlawanan kolonialisme, tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang perjalanan bangsa dan identitas. Novel ini menampilkan sudut pandang yang berbeda dari yang selama ini diajarkan dalam narasi sejarah resmi. Lewat tokoh Minke, pembaca diajak untuk memahami bagaimana seorang pribumi yang cerdas harus menghadapi sistem yang tidak adil dan berjuang untuk memperoleh kebebasannya sendiri.

Dalam perkembangan sastra Indonesia, Tetralogi Buru yang dimulai dengan Bumi Manusia menjadi salah satu tonggak penting. Karya ini menunjukkan bahwa sastra bisa menjadi alat perlawanan yang kuat terhadap ketidakadilan. Dalam berbagai diskusi akademik, Bumi Manusia sering digunakan sebagai referensi dalam studi postkolonial, kajian gender, dan analisis politik kolonial.

Di Indonesia, meski sempat dilarang selama bertahun-tahun, akhirnya Bumi Manusia kembali diterbitkan dan dibaca oleh generasi baru. Bahkan, pada tahun 2019, novel ini diadaptasi menjadi sebuah film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo, dengan Iqbaal Ramadhan sebagai Minke. Adaptasi ini membawa novel ke audiens yang lebih luas dan memperkenalkan kembali pemikiran Pramoedya kepada generasi muda.

Proses pembuatan Bumi Manusia adalah bukti ketahanan dan keteguhan seorang Pramoedya Ananta Toer dalam menyuarakan sejarah dan ketidakadilan, meskipun dalam kondisi terpenjara dan dibungkam oleh kekuasaan yang represif. Karya ini bukan hanya sebuah novel, tetapi juga simbol perlawanan intelektual yang tetap hidup meskipun ditindas.

Dalam satu abad sejak kelahirannya, Pramoedya dan Bumi Manusia tetap relevan dan memberikan inspirasi bagi banyak orang. Novel ini mengajarkan tentang pentingnya pendidikan, kebebasan berpikir, dan keberanian melawan ketidakadilan. Warisan Pramoedya akan terus hidup dalam sejarah sastra Indonesia dan dunia, menjadi bukti bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah dunia.

Fauzi

Content Writer, Copywriter, Journalist

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama