Ritus & Langgam - Sejawat & Nubuat merupakan puisi yang termaktub dalam Ritus & Langgam. Ingin merefleksikan kehidupan, di mana warna dari sebagian orang ada yang abu-abu dan ada pula yang percaya bahwa hitam dan putih tak bisa bercampur; menjadi kamuflase sifat maupun perangai, watak maupun perilaku.
Puisi ini terdiri dari 4 bait, bait 1-2 sendiri dijadikan sampiran dan bait 3-4 sebagai isi sekaligus penutup tanpa disimpulkan secara keseluruhan.
Bait-bait dalam puisi ini pada dasarnya berbicara tentang dua fragmen yang memiliki korelasi dengan kehidupan. Bait 1 & 3 adalah refleksi itu sendiri di mana ingin mempertanyakan ulang sebuah arti kehidupan, meski tak berbentuk pertanyaan.
Sedangkan bait 2 & 4 merefleksikan kehidupan setiap orang yang menjadikan warung kopi adalah rumahnya. Seakan-akan tak ada kata pulang dari tempat itu karena di sana warna kehidupan tercipta, melingkar di bibir cangkir putih bercorak bunga-bunga.
Selain beberapa hal di atas, puisi ini juga dihaturkan kepada seorang sahabat yang tengah menyusun naskahnya "Kopi, Diary Biru, dan Kota Berlin" dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Untuk menyambut karya terbaru dari sahabatku @roserqmokhtar tersebut, puisi ini diselaraskan dan disarikan kembali menjadi dua fragmen utuh tanpa dirubah susunannya.
Jika peluk kasih tak mampu, / biar Bharata menggerus seisi dunia. / Takluk dan tunduk atas kuasanya. --- Dikutip dari puisi "Terketuk, Terpuruk".
Ada yang tak bisa diabaikan dalam hubungan antarmanusia, tentang bagaimana kita bersikap, berperilaku dan menjaga hubungan tersebut agar tetap utuh; tak menjadi keruh maupun tercemari picik pikiran.
Hal itulah yang selama ini coba kupupuk, coba kupertahankan dan kukokohkan. Karena manusia harus dihadapi sebagai manusia, yang berakal pikir, berhasrat serta memiliki banyak keinginan maupun kemungkinan. Entah itu baik secara penilaian dasar atau sebaliknya buruk bagi sebagian orang.
Tidak boleh ada justifikasi apalagi labelisasi yang harus ditetapkan untuk setiap sifat yang melekat. Sedangkan untuk persoalan tabiat dan niat, kembalikan lagi pada yang melakukan. Urusanku dengan manusia lainnya adalah mengabdikan diri, menjadikan sosok yang berhak menerima segala bentuk kebaikan.
Lantas bagaimana ketika orang lain berperilaku buruk atau dengan sengaja memperalat maupun memanfaatkan? Aku sendiri tidak mempermasalahkannya, tapi bukan berarti aku berdiam diri. Tetap saja, ada tindakan yang dilakukan, secara akali mempertimbangkan kemungkinan maupun kedudukannya sebagai manusia. Tentang bagaimana mengambil kesempatan dari yang ditemukan dari segala kebaikan dan perbuatanku. Biarlah. Hal seperti itu justru menjadi cerminan atas tindakan-tindakanku kemudian, di mana Gusti Pangeran memperingatkan sekaligus memberikan contoh, bahwa ada saja manusia yang tak tahu terima kasih dan hanya mementingkan dirinya sendiri.
Pada dasarnya, aku tetap memperlakukan manusia sesuai dengan fitrahnya. Selebihnya biarkan alam dan jagat ini menjawab tindak tanduk yang ada.