Perih Meradang Luka, Bahagiaku Sirna

Seri Tigapuluh Empat Kehidupan dan Doa
Ritus & Langgam, Prosa --- Ceritakan saja dulu. Setiap perih yang pedih. Setiap luka yang menganga. Setiap asa yang tak sampai di ujung cerita. Bahagia yang terenggut karena berbeda tujuan dan sudah lupa caranya menjelaskan bagaimana memperbaiki kesalahan-kesalahan yang disebabkan ketidaktahuan.

"Setidaknya dengan begitu kau bisa melapangkan dada tanpa harus merasa takut, melangah maju dan meneruskan sebagai sebuah kesalahan."

Hatiku mencoba bersikap teguh meski sebenarnya cukup rapuh, namun aku percaya logikaku bisa membantunya bangkit dari keterpurukan. Sebab masa lalu hanyalah perlintasan, taman rekreasi yang indah dan ditinggalkan ketika waktunya tiba.

Aku sedang berusaha meneguhkan dan menguatkan hati; menumbuhkan keberanian dan kekuatan untuk bisa melanjutkan. Membuang segala perih dan mengikis bentuk kepedihan. Aku sedang mencoba sebuah usaha, untuk tidak lagi terikat dengan masa lalu dan kisah-kisah bahagia saat bersamamu. Saat ini, aku mencari sebuah cara bagaimana cinta disikapi dengan biasa-biasa saja.

***

Kau sering bilang, bahagia bisa diraih ketika bersama dan doa-doa sanggup merengkuh asa dalam setia dan berjuang. Melewati kesulitan, memperluas ruang yang sesakkan dada. Pun kau pernah mengutarakan, bahagiamu adalah salah satu cara Tuhan menabahkanku. Namun kini setelah perjalanan menuju puncak hampir sampai, kau berbelok arah melihat sisi lain dari ketidakmampuanku.

Katanya, aku adalah pribadi yang mampu membuatmu tangguh. Seseorang dengan kesabaran luar biasa. Akan tetapi ketika datang keluh kesah lelahku, kau mengambil liku jalan yang tak mampu kutapaki. Memilih untuk berjalan sendiri tanpa pernah siap menanti. Meninggalkanku di belakang yang menyusuri jalan setapak tak terjal yang kuanggap kemudahan.

Namun apalah daya, kekuranganku kau jadikan alasan sebuah perpisahan. Kau berlari kencang tanpa sekalipun melihat ke belakang. Enggan memperhatikan bagaimana aku berjuang, berusaha sampai ke tempat yang sama-sama dituju.

Kusadari jalan yang kupilih cukup panjang dan tak mampu membuatmu bertahan. Kurang mampuku kau jadikan alasan meninggalkan, seharusnya mempertahankan, memberikan dorongan dan dukungan – sampai pada tujuan awal, ikrar sebuah cinta dan perasaan yang dibangun di awal keputusan bersama. Baiknya kau ceritakan segala ketidaksukaan daripada pergi tak berpamitan. Mungkin dengan begitu sakitnya tak seperti ini: Perih meradang luka-luka, bahagiaku sirna.

Seandainya dulu kau memberi sinyal, tidak mampuku adalah hal yang tak kau senang. Mungkin dengan begitu aku bisa mempersiapkan diri untuk sebuah perpisahan atau aku bisa membujukmu untuk tidak pergi dan berpaling ke lain hati.

Epilog:

Perih luka-lukaku tak perlu kau sesali karena aku sedang mempersiapkan obat yang akan menyembuhkannya. Memang bahagia sirna, namun aku percaya bahwa bahagia selalu datang pada mereka yang percaya seperti aku yang meyakini semuanya baik-baik saja.

Selamat jalan untukmu yang tak tahu diri, bagimu cintaku tak lebih dari alibi. Mencari tenang dan nyaman namun lupa memberi dan mencintai. Kuucapkan semoga damai dalam perjalananmu. Tenang saja, setelah ini semua kisah tentangmu akan kukubur mati ke dasar bumi. Tidak perlu risau masa lalu bukanlah penghalang bagiku, hanya saja aku butuh waktu untuk mempersiapkan kembali. Menata hati untuk tak lagi disakiti oleh orang-orang seperti dirimu.

Wates, 25 Agustus 2019

Achmad Fauzy Hawi

Sering mendengarkan daripada bercerita, lebih banyak minum kopi hitam daripada menulis. Bisa dijumpai juga di sosial media dengan akun Achmad Fauzy Hawi

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama