Ritus & Langgam, Naskah & Karya --- Kita adalah perjalanan yang mengingkari kebenaran dan keberadaan segala yang hidup dalam diri. Mengaku bersaksi dan berserah diri, tapi di lain sisi mengingkari hal-hal yang sudah disepakati.
Sebelum rapuh dan ringkih / pikiranmu adalah semesta / tempat segala doa disampaikan / kepada Tuhan ia berserah / dengan iman yang disaksikan. --- Achmad Fauzy Hawi
Hidup adalah maknawi, antara yang dihidupkan dan yang menghidupkan. Kembali pada segala yang disiratkan, dalam pencarian ia tenggelam; hilang bersama pengetahuan duniawi; lupa pada muasal dan mengimani yang tak seharusnya.
Dahulu segala riuh pikiran membacanya dan getar hati menyebutkannya: Tiada kebenaran dan iman yang pernah disaksikan oleh pikiran-pikiran manusia.
"Neraka begitu nyata, bagi mereka yang lupa tuannya. Tercermin dari pancamata dan surga seperti kebaikan-kebaikan yang tidak ditemukan akarnya".
Jantung duka, air mata membasuh pusara. Ingatan yang meronta-ronta, memaksa perih meraung sejadi-jadinya. Di bukit pertemuan, ketika masa silam adalah pertentangan dan masa depan tak lebih dari mimpi belaka. Kita, bersetubuh dengan elegi dan menjadikan tragedi sebagai malam-malam penuh persenggamaan.
Langit muram di atap rumah dan desah angin akhir musim kemarau mengisyaratkan: "Kelak, tak lagi ada yang abadi karena bahagia tak pernah benar-benar ada. Begitu pun dengan kisah di malam ini, lenyap setelah pagi dijemput kekasihnya".
"Apalah arti sebuah perasaan" katamu di tengah-tengah gemuruh hujan "jika jiwamu saja berkelana jauh, melintasi bukit-bukit dan pikiranmu mendaki gunung Himalaya. Lebih baik, kembalikan seluruhnya kepada alam yang tak pernah merasa kehilangan meski berjuta-juta keserakahan datang; menyerbu membabi buta".
JIWAMU PESAKITAN
Kita tak pernah bisaberdamai dengan masa lalu,
terlebih soal kenyataan:
Membunuh ingatan dan mengubur
pedihnya untuk sekadar meraih
bahagia yang tak pernah diraih
sebelumnya -- di jantung duka
air mata membasuh pusara.
Dendam mengutukmu
dan doa-doa tak lagi
menyatu bersama nafasmu.
Ia lenyap, tertelan kebencian
dan ingatan perih
tak pernah mau dituntaskan.
Kini, di tubuhmu
luka-luka menganga
tak lagi bisa diselamatkan.
Yogyakarta, 17 Juli 2020
BERDALIH
Kita patut berterima kasihkepada jernih pikiran dan
bersihnya hati, karena
dengannya segala ketakutan,
kekhawatiran, dan keresahan
mampu ditundukkan tanpa
sedikit pun merasa kehilangan
apalagi dirugikan.
Pun kita diharuskan berhenti
mengulangi segala kesalahan
yang sama. Membunuhnya
sebelum akhirnya ia merajai,
menjadi sebuah kebiasaan
yang sewaktu-waktu tak lagi
mampu dikuasai. Baik oleh
pikiran dan kekuatan hati.
Sebab kita adalah kesalahan
yang terus berulang-ulang,
enggan dinasihati dan tak
pernah mau mendengarkan
kebaikan-kebaikan diri; larut
dan tenggelam dalam
kebenaran yang dibangun
berdasarkan asumsi-asumsi.
Kita selalu dikalahkan oleh
ketidaktahuan dan sering kali
terjebak dalam stigma; mudah
percaya bahwa segala hal
yang diyakini merupakan
bentuk kebenaran sejati. Kita
enggan untuk introspeksi,
sehingga yang terjadi hanyalah
pengulangan tak berarti.
Pada diri sendiri berkata:
Cukup kali ini, besok dan
seterusnya tak perlu melakukan
hal yang seperti ini. Karena
semua ini hanyalah tipu daya
dan segala yang pernah
Tuhan berkenan memaafkan.
Membuka pintu kebaikan dan
kebenaran; meneguhkan hati.
sama diulang lagi dan hanya
menjadi sebuah alibi untuk
dalih-dalih lainnya. Mengaku
iman tapi tak pernah
benar-benar menyaksikan.
Keyakinannya hanya selesai
di ucapan dan janjinya sebatas
peribahasa tak memiliki
makna sama sekali.
Sampang, 21 Agustus 2020
RAPUH
/1/
Sayang ... Perang akanberakhir seperti masa
lalu yang hanya jejak
perjalanan dan kisah
silam yang begitu
mudah dilupakan,
karena ada yang lebih
sukar diselamatkan,
yaitu pikiran dan diri
sendiri.
/2/
Dahulu, hatimuadalah surga
tempat segala tenang dan
rasa nyaman.
Dahulu, pikiranmu kebajikan
dan ucapanmu doa-doa
suci bidadari
di waktu-waktu pernikahan.
Sampang, 27 Agustus 2020