Cerbung Seirama Bagian I: Pikiran Dangkal, Hati Karam

Senandung Cinta dan Rindu

Ritus & Langgam, Cerbung --- Kita selalu merasa terkatung-katung, kadang seperti pecundang dan parahnya ingin mengatakan diri sendiri sebagai penguasa yang lebih bertakhta daripada Tuhan. Tahu mengapa demikian? Itu disebabkan pikiran kita begitu dangkal dan hati terhuyung ke dasar tanpa sekali pun benar-benar mengerti siapa yang memberi pertolongan.

"Tuhan tak pernah meninggalkan kita". Ucapku memecah kesunyian dan alam sadarnya, ketika kulihat matanya yang sayu sedikit berkaca-kaca.

"Kita sendiri sebenarnya tahu, dalam hidup sehari-hari yang tampak begitu menjemukan, masih kita temukan yang namanya kebahagiaan. Bukankah tanpa sadar dan tak tahu sebabnya, tak jarang kita tersenyum, tertawa dan bahkan terbahak-bahak, seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa." - lanjutku memberi sedikit pengertian. Meski aku cukup yakin tak mudah diterima olehnya.

"Lalu mengapa kini terdengar ucapan, doa-doa tak penting di hadapan Tuhan dan kita merasa bahwa segala sesuatu yang kita harapkan harus dipenuhi? Apakah kita sudah yakin, bahwa cara berdoa yang sering kita lakukan sudah benar? Benarkah kita melakukan penghambaan dan ketulusan dalam bermunajat?" - tanyaku dengan sangkalan dan justifikasi atas hidup yang seharusnya dijalani manusia.

Kulihat ia terdiam dan seakan-akan masih bertahan dengan pendiriannya. Dengan sengaja kubiarkan ia bercerita dan berkeluh kesah, kuharap setelah kecamuk dadanya berhenti dan gemuruh di kepalanya tenang, jawaban datang bersamaan dengan sabda-sabda alam melalui garis khatulistiwa, di ujung labuhan senja dan saga.

“Tapi tetap saja, kadang Tuhan begitu gampang menjadikan kita seseorang yang tangguh, dan sukarnya yang diterima akal adalah ketika berada di posisi paling menyeramkan." - ujarnya membela diri dan sedikit kesal.

Ia terus saja berbicara, tak memperhatikan apa yang tengah kukerjakan dan kupikirkan tentangnya. Wajahnya sedikit lucu dan berseri ketika serius, sesekali cemberut dan tak jarang menarik nafas panjang. Sedangkan aku, masih asyik memperhatikannya sesekali.

"Aku pernah berada di posisi yang sama dengannya, beberapa tahun yang lalu dan aku mengerti apa yang menjadikannya gulana. Akan datang satu waktu di mana jawaban secerah langit dan seindah pelangi selepas hujan." - kenangku, sambil memikirkan kembali apa yang pernah kualami.

Kenangan dan kejadian-kejadian silam melintas, aku jatuh dalam lamunan. Lintasan dan potret-potret masa lalu seperti telenovela, opera, dan dramaturgi. Sedangkan ia masih saja bercerita, bergundah diri dan mencari jawaban. Di ujung pangkal sorot matanya, perang seperti terjadi. Antara hati dan pikirannya.

"Tentu kau tahu apa yang ingin kubicarakan dan pertanyaan seperti apa yang ingin kusampaikan. Bukannya aku tidak percaya segala sesuatu diciptakan dengan baik dan sesuai dengan porsinya masing-masing. Tapi, coba kau lihat hidupku hanya seperti gelandangan, bahkan bisa dikatakan jauh lebih parah darinya." - sedikit meratapi dan menyesalkan sesuatu yang tidak diketahui. Pikirannya menerawang jauh, dengan ketus ia terus berbicara.

"Seakan-akan, aku ditinggalkan iman dan tak memiliki kesanggupan untuk terus berjuang. Sesekali, ingin rasanya benar-benar menghilang. Jauh dari hiruk pikuk kenyataan dan tak memedulikan besok atau lusa akan datang” - keluhnya kemudian.

Sejenak ia berhenti berbicara, menoleh dan merasa tak diperhatikan. Ia melihatku dengan nanar dan kesal. Kecamuk di dadanya semakin menjadi dan pertanyaan-pertanyaan kian banyak, pun bertubi-tubi.

Sebaliknya, aku menengadah. Kulihat langit seakan-akan semakin muram --- meski tidak mendung --- dan bumi tampak begitu gersang. Kebisingan kota tak terlihat, hanya bayang-bayang penyesalan yang tertinggal di setiap sudut dan trotoarnya.

Aku kembali mengingat-ingat, kesibukan dan segala hal yang tak pernah mampu kutuntaskan; suluk dan laku hidup yang kerap kali berulang menjadi kegagalan hidup. Jatuh tersungkur berkali-kali.

Tiba-tiba bayangan Ka'i datang melambai, wajahnya yang teduh dan senyumnya yang khas masih utuh.

"Ternyata, banyak hal yang kulupakan." - ujarku setelah kembali tersadar.

"Hidup begitu sempit untuk orang-orang sepertiku. Nyatanya, kesalehan dan ketaatan hanya berhenti pada penilaian sendiri. Tak pernah benar-benar utuh, apalagi jika disejajarkan dengan mereka yang sepanjang harinya bertasbih, jiwanya tenang dan pikirannya dipenuhi kebijaksanaan." - simpulku kemudian.

"Sekali lagi aku lupa, bahwa masa lalu tak pernah bisa diulang dan yang perlu kita lakukan sekarang adalah percaya dan memperbaiki. Mengulang lagi dan terus membenahi diri, sehingga tak lagi ada kegagalan dan penyesalan." - gumamku, sambil berterima kasih atas kesempatan dan kedudukan yang diberikan.

Suara Nazira Aulia Pohan begitu menggelegar di gendang telinga. Aku tersentak sekaligus terkejut.

"Pasti kekesalannya sudah benar-benar mencapai puncak." - ucapku lirih yang merasa bersalah dan sedikit lucu melihatnya.

"Ternyata pacarku menggemaskan kalo sedang marah dan minta diperhatiin" - ujarku dalam hati.

"Ram, kok kamu malah bengong. Aku kan lagi cerita. Dasar ga pengertian" - Gerutunya setelah melihatku asyik dengan pikiran sendiri.

"Ah, maaf, maaf, Han. Tiba-tiba aku merasa terbawa suasana dan mengingat hal lain setelah mendengar kata-kata dan ceritamu". Balasku tanpa menanggapi cerita Pohan tentang kekalutannya.

Keduanya membisu dan entah mengapa, Rama dan Pohan sama-sama menikmati kesunyian di Taman Braga sore itu. Cerita dan pertanyaan tak lagi penting lagi bagi keduanya. Hanya ada mereka, ruas-ruas jalan, dan setumpuk kalut yang hilang ditelan riuh sudut kota.

~~ Bersambung

Ritus & Langgam

Manuskrip digital dan dokumentasi tulisan Achmad Fauzy Hawi

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama