Ritus & Langgam, Cerbung --- Di kota ini, kita pernah memiliki mimpi bersama. Merajut benang-benang kusut yang oleh banyak orang ditinggalkan karena dianggap sebagai bekas tali persengketaan. Tawa-tawa merekah dari penjuru bumi dan kita selalu percaya bahwa masa depan tak lebih dari mimpi, diwujudkan dan ditunaikan sembari menghamba kepada Sang Hyang Widi.
"Kamu pernah berkata, Braga adalah tempat ternyaman kedua setelah pangkuan Bunda. Apa kata-katamu bisa kupercaya, kamu yakin tak ada tempat lain di belahan bumi ini?" - Tanyamu di satu waktu, ketika langit dengan muramnya berwasiat. Khianat adalah perkara laknat dan manusia paling mudah melakukannya.
"Ada kok, satu tempat. Tapi tak semua orang mampu merawatnya. Mungkin kamu pernah menemukannya tapi merasa bosan, karenanya kau singgah di tempat ini. Tempat yang menurutmu teduh dan nyaman. Nyatanya itu delusi yang diciptakan ingatan. Kau mau tahu, tempat apa yang aku maksud?" -- Balasku kemudian, setelah kilatan masa depan singgah di pikiran.
"Boleh, emangnya tempat apa kok kamu bilang aku pernah menemukannya? Kamu ga asal bicara kan, biar bisa dibilang bijak dan pintar? -- Balasnya kecut dan sedikit tak percaya bahwa tempat itu memang ada, bahkan semua orang dengan santai memasuki; berdiam cukup lama dengan segala ketidaktahuannya.
"Tempat itu adalah hati, di mana darma ditunaikan tanpa sekalipun dipertanyakan. Di sana ada sebuah ketenangan yang begitu sukar diterima akal sebab akal tidak pernah berpihak kepadanya. Tapi ketika seseorang benar-benar memasukinya, ia akan sampai pada satu kesimpulan: Dunia hanyalah hamparan kecil dan kita tak lebih dari sepi yang selalu butuh ketenangan"
Aku lihat ia sedikit bingung dan merasa jawaban itu tidak sesuai ekspektasinya. Ia seakan menerawang dan mendefinisikan ulang kalimat terakhir dari ucapanku. Aku hanya bisa tersenyum karena dengan begitu teduh wajahnya menggugurkan kegusaran sekaligus menghapus dendam tentang patah hati yang tak kunjung selesai.
Melihatnya termenung, aku hanya bisa bergumam dalam hati dan sedikit bersyukur atas hidup ini.
"Terima kasih Tuhan, ternyata ada kekeliruan dalam pemahaman juga pengetahuan. Tak ada yang sia-sia di dunia ini. Hatiku yang karam diterpa badai, masih diselamatkan seseorang dengan ketangguhan dan ketenangan."
"Benar apa kata leluhur, yang picik adalah pikiran dan yang tenang gelombangnya adalah hati. Keruh pikiran mengaburkan kewarasan dan akal selalu membuat dalih, parahnya ia menjadikan kesulitan sebagai alibi. Mengelabui dan menghipnotis; menyesatkan alam sadar, bahwa dunia begitu pelik".
"Han, ga usah serius-serius mikirnya. Mukanya jadi tegang, makin keliatan kecut dan tak sedap dipandang haha" -- Gurauku menghentikan lamunannya.
"Asem kamu, Ram. Daripada kamu jailin aku terus, mending kita keliling Bandung aja yuk?" - Ajaknya sambil berdiri tanpa menunggu persetujuanku.