Ritus & Langam - "Bayangmu berlarian. Sesekali ke tepi, enggan menepi dan menanti. Aku yang kalut, memeluk diri sendiri. Memekik dalam kesendirian yang membikin ngilu sendi-sendi."
Cerita-cerita yang kudengar tentangmu seperti sebuah novela, adegan di dalamnya dipentaskan sedemikian rupa. Ada yang mengambil peran si Aku dan ada pula dirinya yang tengah bersanding denganmu, berbahagia sembari tersenyum di taman kota.
Sedang pembawa kabar dan pengkhotbah terus saja memuntahkan segala dengki. Gendang telingaku panas dan dadaku bergemuruh bak ombak menghantam karang.
Air mataku semacam tampias, menyentuh bibir pantai. Kering dan basah lagi, terus-menerus terulang. Hingga ke sekian ceritamu dengannya bergeser ke alun-alun kota, aku masih di sini. Termangu dalam sedu-sedan tak menentu.
"Tak lagi ada rasa yang tersisa, di relung jiwamu. Tiada aku, hanya dia dan seluruh gelak tawanya" -- ratapanku kian membelenggu.
"Malang niang nasib, memilikinya tak sempat. Aku laksana tualang, tersesat di habibat hewan liar".
Kelak, jika ada kehidupan yang kedua. Setidaknya izinkan aku mencintaimu, utuh dan sempurna. Memilih dan memilikimu. Untuk cinta dan segala yang abadi, kan kuhaturkan puja-puji. Pada Dewa dan Hyang, duniaku persembahkan dan hidupku menghamba pada jati diri.
Yogyakarta, 13 Juli 2022