Ritus & Langgam - Kala itu, menjelang tahun 2017 yang riuh di suatu ruangan. Kita berjumpa dan bersalaman, lantas bertukar nama dan senyum. Sebelum akhirnya berpaling pada kesibukan dan kesunyian masing-masing.
Hari ini, tak banyak yang berubah. Aku yang terkadang lebih banyak bercerita dan kau yang lebih senang mendengarkan; kau yang banyak meminta perjalanan, sedang aku memilih berlama-lama di warung kopi.
Kisah kita lebih cenderung bergerak lambat; tak banyak kejutan dan hal-hal luar biasa lainnya.
Bagimu, mungkin ini suatu kejanggalan dan ketidakteraturan; ketidakpastian atau bahkan pernah tersirat di benakmu untuk menepi, mengambil nafas sejenak dan merefleksikan segala sesuatu yang pernah terjadi, sebelum akhirnya memilih melanjutkan mimpi.
"Riuh kepalamu laksana gemuruhdi tengah pertempuran.
Benturan antarpedang dan suara tombak
pejuang adalah indikasi dimulainya invasi."
"Derap infanteri dan kavaleri saut-sautan.
Di udara, debu-debu mengepul dan beterbangan.
Seorang pengintai melapor ke Jenderalnya yang tengah mengatur strategi."
"30.000 ribu lebih prajurit musuh sedang mengarah ke sini, Tuan - lapornya".
Jenderal itu mengutus 10.000 ribu untuk menghadang
ia percaya, tembok setinggi gunung di wilayahnya tak tertembus."
"Perang semakin dekat dan
yang bertahan hingga sore hari, pemenangnya."
Sekali lagi kau mengalami kalut, meratap dan sesekali berbicara sendiri.
"Perang pecah. Prajurit banyak yang matidan warga kota ketakutan. Ada yang memilih mengungsi
dan tak sedikit yang pasrah.
Bagi mereka, peperangan tak lebih dari berganti penguasa.
Mereka menyadari
kesengsaraan dan kehilangan adalah sesuatu yang pasti.
Mutlak dan harus terjadi."
"Teriakan sudah seperti nyanyian.
Bendera berkibar dari sayap kiri.
Disusul pergantian strategi jaring Laba-laba dan himpitan."
"Teriakan, benturan
dan aduan pedang.
Sinyal dan perintah.
Semuanya demi kemenangan."
"Banyak kehidupan direlakan dan tak sedikit
tangisan menggema. Di ritus peribadatan,
orang-orang berdoa untuk jiwa-jiwa
yang kembali. Di pintu masuk kahyangan,
para leluhur menunggu sembari menyaksikan
hidup dari anak-anaknya."
"Setidaknya, hidup ini milikku sendiri. Sedang cinta dan perjuangan tak lebih dari sekadar pewangi. Lambang dari pekerti yang menjadikan welas asih." - pikirmu menyimpulkan kemudian.
Yogyakarta, 29 Juli 2022