Ritus & Langgam - "Semoga Aku, Rumahmu" merupakan tulisan yang diadaptasi dari kisah dan perjalanan hidup sepasang kekasih yang sering kali mengalami gejolak, pertengkaran kecil, hingga perpisahan. Meski pada akhirnya mereka memutuskan untuk merajut ulang tali asmaranya.
Tulisan ini disusun dalam dua format, puisi dan prosa. Termuat dalam satu kesatuan, diawali dengan susunan baris-bait puisi dan diikuti dengan kumpulan prosa.
Gaya bercerita si Aku menerapkan konsep prolog dan monolog. Si Aku menuturkan kisah-kisah dan menumpahkan perasaannya dalam sebuah surat yang ia kirim ke banyak alamat. Alamat-alamat tersebut diperoleh dari berbagai tempat ketika bersama kekasihnya.
Setiap surat dilengkapi dengan satu puisi dan seikat bunga sebagai bentuk ziarah untuk dirinya sendiri. Sedangkan setting waktu yang dipakai dalam tulisan ini adalah tahun-tahun setelah kolonialisme, tepatnya pada tahun 70-an hingga awal tahun 2000-an. Di tahun 2000-an inilah keduanya menjadi sepasang suami-istri dan memiliki 2 orang anak bernama, Sasmita dan Pranata.
Perlu diketahui. Meski ide cerita dalam tulisan ini didasarkan pada kisah nyata dan fakta, tapi hal yang tak bisa disangkal dan dibantah oleh saya adalah ketika saya harus melakukan pengembangan pada beberapa aspek di dalam cerita.
Pengembangan-pengembangan tersebut, mau tidak mau harus menyuguhkan kenaifan, kebohongan, dan segala sesuatu yang mengindikasikan serta mengarah pada fiksi. Salah satunya adalah ketika saya harus mengambil sudut pandang dari aspek dan kisah-kisah percintaan orang-orang dahulu.
Contoh lainnya adalah ketika saya harus mempertimbangkan kondisi dan faktualitas perkembangan tahun 70-an hingga awal tahun 2000-an, baik dari segi konflik, kondisi ekonomi, hingga segala situasi pada masa itu.
Meski demkian, cerita dan tulisan ini tidak akan mengangkat secara luas polemik yang terjadi kala itu. Karena cerita dalam tulisan ini murni berdasarkan perspektif dan sudut pandang pihak pertama saja. Oleh karena itu, pembaca diharapkan untuk tidak mempertentangkankannya.
Sebagai penulis, saya akan tetap mempertimbangkan sudut pandang pembaca. Begitu juga dengan perkembangan tokoh, konflik dan solving-nya akan dimaksimalkan apabila memungkinkan.
Seperti yang sudah disebutkan dan ditegaskan di atas. Biarpun setting waktu yang dipakai adalah tahun 70-an, pembaca akan banyak menemukan kekurangan dan hal-hal janggal terkait kesempurnaan tulisan ini.
Kekurangan-kekurangan tersebut tidak akan diperbaiki secara keseluruhan, justru sebaliknya banyak dipertahankan. Contohnya seperti sudut pandang si Aku yang muda, cenderung kurang dewasa, cara ketika bercerita yang cukup monoton, dan terbilang sangat biasa.
Jika dilihat dari sudut pandang pembaca, mungkin hampir 100% akan merasakan kekecewaan dan banyak pertanyaan. Salah satunya mungkin pertanyaan,
Lantas, mengapa tidak diperbaiki dan disempurnakan?
Alasannya tidak lain, ingin mempertahankan kisah faktual di beberapa bagian yang menjadi sumber, unsur, dan kebenaran. Lainnya karena kebanyakan isinya merupakan monolog dan puisi.
Berdasarkan kebiasaan saya ketika membuat puisi yang cenderung berfokus pada estetika, bentuk kalimat, frasa, ritme, bunyi diksi dan bagaimana sampiran sampai penutupnya terpenuhi.
Sedangkan untuk bagian prosa -- prolog, monolog, dan epilog -- akan ditulis sebagaimana mestinya. Artinya saya tidak akan terlalu terpaku pada alur komunikasi dua arah atau sesuatu yang membutuhkan timbal balik. Konsentrasinya lebih pada bagaimana si Aku memaparkan segala keluh kesah dan curahan hatinya selama ini.
Adapun untuk naskah atau draf yang ada saat ini akan dirombak secara total hingga masuk ke tahap pengeditan, penyesuaian, serta pengembangan cerita. Selebihnya, akan direka berdasarkan imajinasi dan karya fiksi.
Mungkin itu yang bisa diceritakan terkait "Semoga Aku, Rumahmu". Semoga bisa bermanfaat dan segera terealisasi.
Naskah asli dari tulisan "Semoga Aku, Rumah" bisa dibaca di blog lamaku dengan judul yang sama atau bisa klik tautan yang disematkan.