Ritus & Langgam - Perpisahan, kadang tak melulu soal melupakan. Adakalanya ia tak lebih dari prasangka baik-buruk, belajar atas segala hal yang tak bisa dipertahankan. Begitu pula dengan kisah cinta yang kau persembahkan seperti aroma bunga dan kokohnya pohon Tal. Tak selamanya mampu menerima badai yang datang menerpa ketika kemarau dan musim penghujan. Tapi yang perlu diperhatikan dan diketahui, cinta adalah gelombang pasang. Datang bersama benturan dan buih, membentur karang dan menuju ke bibir pantai.
Cinta laksana rona matamu, kadang ia sendu dan penuh air mata. Pun tak jarang seperti telaga jiwa, debar dan getar kau rasakan saat bersamaan.
Hari ini kau mungkin memberi jeda untuk perasaan. Tapi esok, percayalah. Semua kebaikan dan cerita yang pernah kau pertentangkan dari apa yang menjadi kepercayaanku, akan kembali menjadi ritus, epos dan sejarah dalam jiwamu. Ia memberi tenang sekaligus riuh bahagia, gelak tawa dan mekarnya senyum dari saripati sukmamu. Tapi takkan pernah bisa kau miliki kembali, ia hanyalah abstraksi buram dari telenovela dan opera yang pernah kau lihat.
Kelak, ketika kau berjumpa kembali denganku yang entah berbahagia atau tidak. Percayalah, kisah antara kau dan aku menjelma jejak jalan yang panjang, memberiku kekuatan sekaligus mengajarkan bahwa hidup, adakalanya harus merelakan untuk sekadar memberitahu dunia. Aku dan kau pernah menjadi kita, berjalan seiring, sepemikiran, tapi tak bersama sampai ujung dunia dan kehidupan. Kita hanya akan tetap menjadi sejarah dan legenda, meski begitu ada yang selalu kuyakini dan kupercaya, bahwa cintamu selalu lebih tabah dari kisah percintaan itu sendiri.
Begitu pun dengan kepercayaan yang kau anut, aku percaya bahwa itu baik. Tapi tidak untukku, melainkan untukmu. Jadi biarkan saja, lembar-lembar yang menumpuk menjadi prakata sekaligus penutup cerita, kita adalah sepasang mata, tak mampu melihat masa depan. Biarkan setiap hal yang pernah kita kerjakan, menjadi nubuat. Baik untukku dan sempurna karenamu.
Tentang janji yang pernah kita ikrarkan sebelumnya, anggap itu sebagai pengingat bahwa kita pernah menjadi sepasang, tapi tak sejalan. Pun perihal doa dan harapan yang pernah kau sebutkan, jadikan ia pelipur untuk segala kenang. Mengajarkan dan menjelaskan, bahwa kau pernah mencintaiku yang tak kalah hebatnya dari kekasihmu yang sekarang. Tapi ingatlah, sayang. Cerita yang kau jalani denganku, takkan pernah terulang. Begitu pula denganmu, takkan ada yang serupa. Masing-masing orang selalu memiliki caranya sendiri dalam menyampaikan kasih sayangnya.
Dulu aku percaya di mana rindu kian mengekang di situlah dirimu ada, untukku.
Saat ini, kita tengah menatap masa depan berbeda. Kau dengan cita-cita luhurmu, tentu dengannya. Sedangkan aku dengan kepercayaan yang takkan pernah mampu kau mengerti, meski berulang-ulang kujelaskan, kupaparkan, dan kuceritakan kisah dibalik keputusanku memilihnya. Namun, aku takkan lupa bersyukur tentang kau yang pernah singgah, tapi tak menetap, menghuni dan menghiasi rumahku dengan tawa-tawa dan harum cinta. Terima kasih kuucapkan dan semoga berbahagia selalu. Terim kasih karena,
Kau, pernah menjadi sepasang tangan, menggenggam harapanku. Menjadi rapal doa sekaligus amin paling sunyi, kala purnama tepat di arah sembilan bintang dan tujuh lintang.
Aku tahu cintamu murni. Sayangnya untuk sampai ke masa depan dan berjalan beriringan, itu saja tak cukup. Kita adalah dua kepala dengan dua gerak hati. Selain itu, hal yang jauh lebih rumit selain kepercayaan adalah persoalan dua keluarga yang budaya dan adatnya berbeda, yang satu agamis dan lainnya biasa seperti kebanyakan orang. Terbilang biasa, meski tetap dalam taat dan takwa yang sama-sama mengarah kepada pencipta.
Jika kau mengingat-ingat kembali segala hal yang pernah kuceritakan. Di sana kan kau temukan aku dengan sepenggal pernyataan: "yang akan menjalani dan memutuskan adalah kita. Jika kau bertahan, anggap saja semuanya selesai diucapkanku".
Tapi kegamangan hati dan pikiran negatifmu mendahului. Aku tak bermaksud menyalahkan, karena bagiku agama adalah pegangan hidup, sedang persoalan iman yang kita pahami tak pernah sama. Iman adalah sesuatu yang selalu kupertanyakan dan bagimu ia adalah ketetapan. Sedangkan ketetapan dan sesuatu yang turun-temurun, kuanggap sebagai kepercayaan yang nilainya jauh lebih besar dari iman dan keyakinan. Andai kau tahu,
Konsep agama yang kau pahami adalah peninggalan dan reka sejarah awal tahun 70-an, berbeda dengan yang kumaksudkan. Meski demikian, dalam catatan panjang manipulasi dunia, kau kan temukan muasalnya. Agama dan segala hal yang berkaitan, tersebar luas dalam buku-buku yang banyak orang karang. Begitu pula dengan penganut dan yang dianutnya, tersebar mulai abad ke-14 sampai dengan ke-18 dan mulai berkembang menjadi 16 agama dan menjelma keyakinan, dengan masing-masing kitab suci yang tentunya juga berbeda isi-isinya.
Sayang... Jika kau membaca ini. Ingat dan wanti-wanti agar tiada kesalahan kedua dalam hidupmu. Tiada sesal dan kecewa, tak pernah kalah soal dunia, dan jangan pernah berpikir untuk menyerah. Tentang hidup dan segala yang memiliki keterkaitan dengannya. Sayang ... Masihkah kau ingat,
Tentang bunga-bunga yang hendak kau tanam dan listingan rencana masa depan; Tentang rumah sederhana dan tanaman di pekarangan? Kuharap kau masih mengingatnya.
Aku masih memegangnya di sini, sebab sesuatu yang pernah kubicarakan dan kujanjikan, ia sering kali menjelma keputusan yang tuntas dan selesai. Hanya saja tak pernah tahu kapan mulai dikerjakan. Jika kelak Tuhan memberi kesempatan, sesuatu yang telah selesai dipikirkan, akan tetap dijalankan seperti rencana awal denganmu. Meski realisasinya bukan denganmu, tapi dengan yang lain. Yang bertahan dan bersama denganku.
Segala hal yang kita mulai. Mungkin aku tak perlu mengingatnya, tentang bagaimana perkenalan dan peresmian hubungan kita, pun bagaimana kita merayakannya. Karena,
Biasanya kau selalu mengingat dan akan marah ketika tak ada kabar maupun ucapan dariku.
Tapi, tahukah kau? Tak ada kata lupa sebenarnya, hanya saja hal semacam itu bukan sesuatu yang diperlukan bagiku. Pertama, kita, salah satu alasan cinta tak butuh perayaan. Kedua, cinta itu aku, abadi dalam dirimu. Terakhir, cinta itu aku, seluruhku kamu.
Jika mau dijelaskan dengan baik dan ditegaskan. Aku selalu mengingatnya dengan cukup jelas. Meski demikian, seperti yang telah kukatakan sebelumnya, hal semacam itu sedari dulu tak pernah menjadi sesuatu yang perlu bagiku. Karena jauh dari segala yang ada di hari itu, sebenarnya telah menjelma cintamu. Ranum dan merekah di jiwaku.
Hari ini, tak lagi ada kamu di sini dan cerita tentangmu menetap. Menjelma kenang yang sewaktu-waktu perlu kubaca dan kureka ulang, baik sekadar untuk mengingat atau sebagai perlambang cinta tulus yang pernah kau berikan. Tak terasa, kebersamaan kita,
Hampir 5 tahun perjalanan jika dihitung, bukan? Esok, selepas rinduku menggebu. Akan kubuka, lembar demi lembar kisahmu. Semoga tak ada gemuruh dan pasang dadaku, semoga kelabu awan tak mendungkan mata.
Kuyakin, kelak pada satu waktu. Entah di musim dan hari apa, akan datang pertanda dan isyarat. Kisah tentangmu mengetuk, mungkin karena pertemuan baru atau perjumpaan denganmu sendiri. Tapi, kenangan selamanya menjadi kenangan. Ia diputar dan diingat sebagai pelajaran sekaligus risalah yang perlu diceritakan agar tetap menjadi sejarah. Tak lebih dan tak kurang.
Ditulis pada 01 Februari 2022 dan dimutakhirkan pada 24 Juli 2022 di Banguntapan.