Prakata Puisi "Terketuk, Terpuruk"

Ritus & Langgam - Segala kemungkinan yang membatalkan ikrar, biarkan ia kembali pada kebaikan dan kekuatan. Kelak, setelah pancaroba sampai. Jangan biarkan jiwaku gersang, tandus dan dilanda kemarau panjang. Agar tiada lara maupun gulana bertandang, membawa sejuta kekhawatiran dan kekalutan.

Pada masa silam yang luput dimaafkan, kuhaturkan permohonan tanpa sedikit pun melupakan baik buruk tindakan. Untuk perselisihan yang sempat dibicarakan menjadi mitos belaka, biarkan alam menyebutkan sesuai janji dan kepercayaan. Begitu pun dengan ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman, semoga diberikan kesempatan mendengarkan tutur sejarah yang dibicarakan alam.

Gema dan degup jantungku seakan-akan mengutuk, ketidaktahuan dan kekhawatiranku ketika bertemu seseorang yang watak dan perilakunya picik, naif, penuh siasat busuk.

Seketika aku ingin bersumpah serapah, menyebutnya sebagai pribadi tak tahu diri karena segala bentuk dan sifatnya tak mencerminkan kemanusiaan. Apa yang keluar menjadi kata-kata, seperti tindaktanduk bajingan, pengecut dan orang yang hidup di masa Jahiliyah. Tapi di lain sisi, aku juga ingin mengutuk diri sendiri. Sebab merasa memiliki kepentingan untuk mengurusi kepribadian orang lain; tindaktanduk dan perilakunya yang buruk.

Padahal aku bisa saja tidak tahu menahu perkara yang terjadi dan dilakukan oleh orang lain, selama ia tak menyalahi hidupku. Akan tetapi, secara sadar dan tidak sadar, terkadang hal semacam itu tak lebih dari kamuflase yang kemudian dijustifikasi sebagai laku dan keluhuran budi. Ada juga yang berdalih sebagai siyasah atau image yang diperkenalkan. Naasnya, semua upaya yang disebutkan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah kebodohan. Mendakwa dirinya sendiri sebagai Sufi dan Wali yang sangat mahir persoalan agama dan filosofi.

Bagi sebagian orang atau bisa saja keseluruhan, keburukan dan perilaku kurang baik seseorang adalah neraka di matanya sendiri. Sedangkan tindakannya sendiri yang menurutnya baik adalah surga, megah dan penuh wibawa.

Semakin dewasa, ada orang yang bijak sekaligus bajik. Tapi ada juga yang lebih busuk daripada bangkai, bahkan paling parahnya merasa kebijaksanaan dan kebajikan telah diperoleh seperti tindakan luhur moyang di masa sebelum perang. Seakan perkataannya seumpama mantra sekaligus doa yang mampu menentramkan segala resah juga gelisah.

Padahal seyogyanya, itu hanya persepsi pribadi, tidak dengan interpretasi yang lain. Namun, masih akan ditemui orang semacam itu. Bertindak bak dewata yang mampu menjunjung langit tinggi-tinggi dan menggoncang bumi dengan sekali hentakan.
Moderator

Divisi yang mengurus bagian komentar, tulisan masuk dan pertanyaan terkait blog ini

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama