Bilik Cerita - Puisi adalah jendela menuju hati dan pikiran seorang penyair. Melalui rangkaian kata-kata yang tertata, kita diajak menyelami perasaan, pengalaman, dan kontemplasi yang mendalam.
Dalam kumpulan puisi yang berjudul "Di Mata dan Jantungmu", "Tumbuh di Tepi Kuil", "Salah Satu", dan "Menyatu", kita menemukan sebuah perjalanan spiritual dan emosional yang kaya akan makna. Setiap puisi mengusung tema yang saling terhubung, menciptakan simfoni kata yang menggetarkan jiwa.
Puisi "Di Mata dan Jantungmu" adalah sebuah karya yang lahir dari perenungan mendalam setelah membaca puisi Roserq Mokhtar. Ditulis di Yogyakarta pada 30 Agustus 2020, puisi ini ditujukan untuk seorang sahabat, mungkin juga seorang guru, yang berada di seberang sana, di negeri tetangga.
Ini bukan sekadar puisi tentang persahabatan, melainkan tentang hubungan spiritual yang melampaui batas-batas geografis dan kultural.
Pembukaan puisi ini langsung membawa kita pada suasana yang sarat makna: "Di batas samudra cinta mengantarkan kita pada sepasang doa." Samudra, dalam puisi ini, melambangkan jarak fisik dan emosional yang memisahkan dua individu.
Namun, cinta yang mengantarkan mereka kepada doa menjadi jembatan yang menghubungkan hati mereka. Penggunaan metafora "di matamu segala asa dituankan" menggambarkan betapa harapan dan impian seseorang dapat dilihat dan dipegang oleh orang lain, dalam hal ini, oleh sahabatnya.
Tema ketuhanan juga hadir dengan kuat dalam puisi ini. "Tasbih kala subuh dan ijabah kala waktu mengingkari temu" mencerminkan keyakinan bahwa doa dan ibadah memiliki kekuatan untuk mengatasi segala rintangan, termasuk ketidakmampuan untuk bertemu secara fisik.
Penyair mengingatkan kita bahwa doa adalah bentuk komunikasi tertinggi antara manusia dan Sang Pencipta, dan melalui doa, jarak pun dapat diatasi.
Di bagian akhir, penyair menegaskan bahwa sahabatnya adalah "kisah dan sejarah," sebuah catatan yang abadi dalam risalah-risalah kehidupan. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran sahabat dalam hidup seseorang, bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai bagian integral dari sejarah hidup mereka.
Puisi kedua, "Tumbuh di Tepi Kuil," ditulis pada 25 Juli 2020 di Yogyakarta. Puisi ini mengangkat tema cinta yang abadi dan hubungan yang transenden antara manusia dan Tuhan.
Judul puisi ini, "Tumbuh di Tepi Kuil," segera memberikan gambaran tentang tempat yang sakral dan spiritual, di mana cinta tumbuh dan berkembang dalam doa.
"Tak lekang, sayang, semoga damai dan tenang bersama pelukan-pelukan doaku," adalah pembuka yang lembut namun penuh kekuatan. Penyair menyampaikan harapan bahwa orang yang dicintainya akan selalu dikelilingi oleh kedamaian dan ketenangan, yang datang dari doa-doa yang tulus.
Puisi ini menggabungkan elemen-elemen cinta dan keagamaan, di mana doa menjadi medium untuk mengekspresikan perasaan terdalam.
"Doamu abadi, di tengah usiamu yang ranum cintaku tumbuh di tepi kuil," adalah baris yang menggambarkan keabadian doa dalam kehidupan seseorang.
Cinta yang diungkapkan di sini bukanlah cinta yang fana, melainkan cinta yang bertahan dalam ruang dan waktu, dipelihara dalam tempat-tempat suci seperti kuil. Kuil, dalam konteks ini, mungkin melambangkan hati manusia, tempat di mana cinta dan doa bersemayam.
Puncak puisi ini adalah ketika penyair menyampaikan doa untuk orang yang dicintainya: "Semoga luka-luka sembuh dan jiwamu kembali tangguh."
Ini adalah doa yang tulus, mengandung harapan bahwa segala kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh orang yang dicintainya akan teratasi, dan bahwa mereka akan menemukan kekuatan dalam diri mereka sendiri.
Puisi ketiga, "Salah Satu," membawa kita pada refleksi mendalam tentang keabadian dan kematian. Ditulis pada 1 Agustus 2020, puisi ini menggabungkan perenungan filosofis dengan narasi yang kuat tentang cinta dan kehilangan.
Puisi ini dibuka dengan kutipan yang menyentuh hati: "Sejenak, kita perlu menenangkan diri dan menerima, bahwa kepulangan adalah keabadian, ia masih dan utuh dalam ingatan, meski doa selesai diucapkan."
Penyair mengajak kita untuk merenungkan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah bentuk keabadian. Dalam ingatan dan doa, mereka yang telah pergi tetap hidup dan hadir di tengah-tengah kita.
Bagian pertama puisi ini menggambarkan keinginan penyair untuk diingatkan tentang bumi dan langit yang menghubungkan mereka dengan kekasihnya. Bumi melambangkan rumah dan tempat perlindungan, sedangkan langit melambangkan keabadian dan tempat di mana jiwa-jiwa yang telah pergi bersemayam.
Penyair mengakui bahwa cinta adalah sebuah upaya yang tidak perlu diperdebatkan, dan bahwa keabadian tidak memerlukan ritual-ritual yang rumit.
Bagian kedua puisi ini menggambarkan perasaan kehilangan yang mendalam: "Di Juli kemarin yang penuh kematian kita seperti ingin bertukar pikiran tentang keabadian dan kefanaan."
Penyair merasakan kehadiran kematian di bulan Juli, sebuah bulan yang penuh dengan elegi dan kesedihan.
Namun, di tengah semua itu, ada keinginan untuk memahami dan menerima keabadian, untuk melihat kematian sebagai bagian dari perjalanan hidup.
Puisi ini ditutup dengan renungan tentang bagaimana perasaan manusia seringkali memantul di antara langit dan bumi.
Penyair mengingatkan kita bahwa kematian adalah cara Tuhan untuk menjadikan seseorang abadi, untuk menjaga mereka tetap hidup dalam ingatan dan doa.
Puisi terakhir, "Menyatu," adalah sebuah perenungan tentang cinta yang abadi dan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dan semesta. Ditulis pada 2 Juli 2020, puisi ini singkat namun penuh makna.
Penyair membuka puisi ini dengan metafora yang kuat: "Cintamu, bujur sangkar berlari pada garis khatulistiwa." Cinta, dalam puisi ini, digambarkan sebagai sesuatu yang kokoh dan tak tergoyahkan, seperti bujur sangkar yang melambangkan stabilitas. Garis khatulistiwa, yang membelah bumi menjadi dua bagian, melambangkan keseimbangan dan kesetaraan dalam cinta.
"Engkau, semesta yang tak perlu diulas sejarahnya," adalah baris yang menunjukkan betapa luas dan dalamnya cinta yang digambarkan oleh penyair.
Semesta, dengan segala keagungannya, tidak perlu dijelaskan atau diuraikan, karena segala sesuatu sudah terkandung dalam jiwa. Penyair mengajak kita untuk melihat bahwa cinta adalah sesuatu yang alami dan tak perlu dipertanyakan.
Puisi ini ditutup dengan satu kata yang penuh makna: "menyatu." Ini adalah puncak dari seluruh perjalanan puisi-puisi ini, di mana segala sesuatu, baik cinta, doa, ketabahan, dan keabadian, akhirnya menemukan tempatnya dalam kesatuan yang sempurna.
Dalam kesimpulannya, kumpulan puisi ini mengajak kita untuk merenungkan makna mendalam dari cinta, ketabahan, doa, dan keabadian. Setiap puisi menyajikan perjalanan spiritual yang menyentuh hati, menghadirkan keindahan dalam kesederhanaan, dan menghubungkan kita dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Melalui kata-kata yang indah dan penuh makna, penyair mengajak kita untuk merasakan dan memahami kehidupan dalam semua dimensinya.
Puisi-puisi ini adalah sebuah cerminan dari jiwa yang dalam dan penuh dengan cinta dan keimanan. Setiap kata yang tertulis adalah sebuah doa dan harapan yang disampaikan dengan penuh ketulusan.
Melalui kumpulan puisi ini, kita diajak untuk merenungkan, memahami, dan merasakan kehidupan dalam semua aspek dan dimensinya, baik itu cinta, doa, ketabahan, maupun keabadian. Dan pada akhirnya, kita semua adalah bagian dari semesta yang besar ini, menyatu dalam cinta yang abadi.