Ritus & Langgam - Leo, yang beberapa tahun lalu menipu ayahnya dengan menggunakan biaya kuliah arsitektur di Australia untuk belajar di akademi kuliner, kini menghadapi kenyataan pahit. Hubungan dengan ayahnya rusak parah dan sang ibu menjadi penengah dalam situasi yang semakin memburuk.
Setelah kembali ke Indonesia, Leo membangun Argo, restoran yang diharapkannya bisa menjadi simbol harga diri dan cinta matinya. Namun, usahanya gagal menarik pengunjung. Dengan kursi-kursi kosong dan pegawai yang satu per satu mundur, Argo akhirnya terpaksa tutup. Kekecewaan mendalam menghantui Leo, yang kini terpaksa mengurung diri dan mempertanyakan ego serta arogansinya.
Leo dihadapkan pada dua pilihan berat: bangkit dari keterpurukan atau tenggelam dalam kekalahan. Keberhasilan bisnis seperti yang dicontohkan ayahnya tidak semudah yang dibayangkan.
Novel terbaru Silvia Iskandar mengangkat tema ini, menawarkan pembaca sebuah cerita yang dekat dengan kehidupan mereka yang tengah mengejar karier dan impian, terutama para remaja dewasa dan dewasa berusia 20-40-an. Novel ini menggambarkan bahwa mengejar passion tidak selalu mudah, tetapi harapan selalu ada asal tidak berhenti berusaha.
Silvia Iskandar, yang menyelesaikan program Magister Bioengineering di Waseda University, Tokyo, dikenal lewat karya-karyanya seperti "Omiyage" (2009), "Sakura Wonder" (2012), dan "Only Hope" (2014). Ia saat ini bekerja paruh waktu dan kembali belajar, mengejar cita-citanya berikutnya dalam penulisan non-fiksi. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Instagram @silviaiskandar atau Twitter @silviaiskandar.
Sinopsis Hidangan di Atas Awan
Leo ketahuan menipu ayahnya! Selama beberapa tahun, biaya kuliah arsitektur di Australia dari ayahnya malah dipakai untuk belajar di akademi kuliner. Sejak itu hubungan mereka rusak. Mereka berhenti saling bicara, sementara sang ibu menjadi penengah yang turut dipersalahkan.
Leo lalu pulang ke Indonesia, membawa mimpi dan rasa percaya diri bahwa ia sanggup meraih kesuksesan. Ia pun membangun Argo, restoran pertama, harga diri, dan cinta matinya. Menu-menu diracik, tenaga-tenaga ahli dipekerjakan, program-program promosi disiapkan.
Namun, Argo tidak menarik pengunjung. Bangku-bangku kian hari kian sepi, pegawai mundur satu per satu, hingga akhirnya Argo bangkrut dan tutup. Dengan berat hati, Leo mengakui kekalahan. Ia mengurung diri di sudut apartemen kecilnya, mempertanyakan ego dan arogansinya. Ternyata membangun bisnis sukses seperti yang ayahnya lakukan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kini Leo dihadapkan pada dua pilihan; bangkit atau tenggelam dalam kekalahan.