Negeri Siapa, Sebuah Puisi Persembahan

Kumpulan Puisi Persembahan Achmad Fauzy Hawi
Ritus & Langgam, Buletin --- Monolog: Mari kita heningkan sejenak kota dan halaman ini, biarkan udara menyekap senyap helaan nafas kita, biarkan riuh bunyi kendaraan menyerang ketenangan dan membuat ramai segala sudut juga dinding tebal kehidupan yang seakan-akan tidak memihak keadaan. Orang-orang yang termarjinalkan, berkumpullah kemari, dengarkan segala isi hati dan pahami segala makna sebuah puisi yang kami beri; yang kami sampaikan kepada penjuru bumi; yang kami bacakan bersama kawan sejati, cinta dan harapan masih menjadi janji yang belum juga mengenal pasti. Untuk beberapa waktu ke depan, biarkan halaman ini tetap sunyi, sesunyi alam yang tak lagi bernyanyi.

Kendaraan terus saja berlalu lalang, orang-orang yang sibuk mencari nafkah dan bersusah payah menggenapi kebutuhan sehari-hari. Di Panggung Rakyat ini, kita semua punya satu ambisi; punya satu tujuan; punya satu keyakinan, untuk saling berbagi dan menjalin hubungan rakyat pribumi. Untuk orang-orang yang datang dari luar kota dan orang-orang yang memang asli dari kota ini, seluruh rakyat yang sedang bermimpi tetaplah bersama sampai acara ini selesai. Sekali lagi, mari kita heningkan sejenak kota dan halaman ini agar ucapan dan pembelaan terdengar seperti sebuah khotbah para priyayi.

#Pembacaannya Diiringin Musik (Gitar)

Kawan, di mana letak kebenaran?
Undang-undang yang berkumandang seakan
menjadi bumerang tersendiri
bagi kita orang-orang yang mencari
nafkah dan kebutuhan sehari-hari.

Dasar negara kita Pancasila, senantiasa meneriakkan
kebanggaan penuh pasti dan tak terelakkan.
Sila-sila terurut rapi penuh arti, setiap hal
tersirat di dalamnya hanya sebatas ideologi
tak bisa dimengerti sepenuhnya oleh mereka
yang memakan hati dan hak rakyatnya.

Ah, negeri ini seperti gundukan duri
Negeri apa ini Tuan?
Adakah dari salah satu kalian memberi jawaban?
Ah, negeri ini seperti tumpukan tubuh yang mati
Ini negeri milik siapa Tuan
Adakah ia berpenghuni setan-setan?

Alibi dibuat sebagai pungli
Apakah ini yang dinamakan negeri demokrasi?
Apakah ini yang dinamakan hidup penuh bakti
Setelah merdeka puluhan tahun
masih seperti terjajah di negeri sendiri?

Jika aku boleh bertanya kepada kalian para penguasa
dan wakil-wakil rakyat di negeri ini.
Masih adakah keadilan itu atau memang
keadilan tercipta sebatas ilusi,
Menggerogoti setiap hidup rakyat sendiri?

Ah, lagi-lagi hidup seperti dijajah
Kita seperti pengungsi di negeri sendiri
setelah semua hal yang diberikan oleh kami.
Bakti tiada lagi berarti
Kami kering seperti pasir tak berair
Kami hutan, digerogoti tikus-tikus luar negeri
Investasi dan modal terus masuk tanpa henti
Menjadikan kami orang-orang pinggir tak berarti
Kami tak terhitung sebagai satu kesatuan masyarakat dalam negeri

#Dibaca Bergantian Pada Bait Ini Sampai Bawah

Inikah demokrasi dan keadilan yang banyak dibicarakan?
Hai para penguasa yang duduk manis di belakang meja
Nasib rakyatmu di sini terlunta
Di manakah letak hati yang awalnya memerangi?

Masihkah keadilan tersisa meski
setipis kapas dan seringan tepung padi?
Jika kalian bertanya ini adalah keadilan atau bukan
Kami tentu dan sudah pasti menjawab
Ini adalah bentuk penindasan
Ini adalah perampasan yang beralih-alih kenyamanan

Kenyamanan dan ketenangan, di manakah ia bersembunyi?
Di kolong meja para koruptor
Di mana letak tatanan penuh kedamaian?
Apa dengan penggusuran lahan yang kami huni?
Apa dengan pengklaiman hak tinggal?
Seperti hidup namun mati seribu kali

Mereka berteriak sembari
memohon, lagi-lagi rakyat kecil menjadi korban
penuh siksaan.

Lihatlah para penguasa yang hidup
dengan penuh kehormatan.
Tidakkah kau dengar
Ada tangisan yang mereka tahan
Ada gumpalan derita yang mereka pendam

Ah, negeri ini sungguh membuat kami mati
Menjadi pengungsi dan terlunta-lunta
Negeri apa ini Tuan?
Hanya ada air mata yang tertahan
Hanya ada perih tak terekam
dan luka yang terus terbuka menganga.

Negeri apa ini Tuan?
Hidup namun seakan mati
Merdeka namun dijajah penguasa sendiri

Ah, negeri apa ini tuan?
Berkembang namun banyak yang menangis sejadi-jadi
dalam lumpur kotor
kami bertempur dengan orang-orang sendiri.

Negeri ini milik kami atau hanya penguasa?
Negeri siapa ini Tuan?
Kami menjadi bakteri atau menjadi satu dalam bakti?
Hidup ini seperti pengungsi
Mati dan lapar menjadi kebiasaan sehari-hari
Negeri siapa ini Tuan?

Puisi ini ditulis pada 22 Maret 2015 dan pernah dibacakan pada Kegiatan Panggung Rakyat di titik Nol Kilometer Yogyakarta saat terjadi penggusuran pedagang asongan.

Achmad Fauzy Hawi

Sering mendengarkan daripada bercerita, lebih banyak minum kopi hitam daripada menulis. Bisa dijumpai juga di sosial media dengan akun Achmad Fauzy Hawi

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama