Terima kasih yang tak bisa kuukur, dari tempat pertama kali mengenal dunia dan darimu pula semesta mengajarkan bahwa hidup tak pernah berhenti di satu titik. Ia akan tetap berjalan mengikuti garis lurus yang terkadang berkelok dan untuk ibuku, terima kasih telah mengajarkan bagaimana seharusnya cinta ditabahkan dan jiwa-jiwa yang rapuh ditangguhkan.
"Kelak, kehidupan akan memberitahu bahwa ada sosok tangguh yang tak disebutkan dalam buku sejarah. Ia cukup tabah dan penuh cinta kasih, darinya akan dipetik pelajaran tentang hidup yang sukar diterima akal dan perasaan."
Sudah setengah abad usiamu dan aku masih seperti ini, menjadi seorang anak laki-laki yang belum mampu memberi “sesuatu dan banyak hal”. Sehingga kau tidak perlu lagi meneteskan keringat dan berjuang tanpa henti. Ayah, mungkin kau takkan membaca tulisan ini — kecuali diberitahu oleh saudaraku — tapi tidak ada masalah, siapa tahu nanti Tuhan menyampaikan dengan cara yang tak cukup dimengerti oleh akal dan logika.
Ada sebuah ihwal tentang kehidupan yang masih belum kupahami, namun sayangnya bertanya melalui sambungan seluler tidak memuaskan bagiku. Ada sesuatu yang tidak sampai dan ada sesuatu yang tidak bisa dicerna hanya melalui suara. Mungkin ini bisa jadi karena sudah terbiasa, setiap ada pertanyaan akan bertemu secara langsung atau bisa jadi ada rasa haru yang kubutuhkan untuk menepis ragu sifatku.
Tapi tidak mengapa, tetap akan aku sampaikan kepadamu melalui tulisan ini. Siapa tahu seseorang membaca dan menyampaikannya padamu, karena sepengetahuan anakmu ini orang-orang sekarang cukup intens berselancar di dunia maya dan cukup betah beramah-tamah dengan navigasi dan menu-menu sosial media.
Waktu itu kau pernah bilang kan, Yah? “Hidup adalah kepulangan yang tidak perlu dipertanyakan waktunya dan mengenai jalannya adalah baik tidaknya sebuah amalan”. Dari apa yang kau bilang itu, aku memahami satu hal: Hidup selalu baik dan perihal tiada ialah sakral ketetapan yang tak bisa dilawan akal apalagi ditawar-tawar oleh perasaan. Namun bagaimana dengan kebenaran dan kesalahan dalam hidup, apakah itu tidak termasuk kata baik jika benar dan sebaliknya benar apakah sudah tentu baik?
Pertanyaan lain yang ingin kusampaikan mengenai kabar kehidupan. Ranum senja usia. Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana jika kelak upaya dan usahamu tak berbuah hasil. Keberhasilan yang banyak dipikirkan orang justru sebaliknya, apakah kau akan berkata: Tenang saja, setiap jalan ada batu-batu kecil yang kadang membuatmu luka. Akan kau temukan jurang besar yang membuatmu jatuh, tersasar dan hilang arah. Namun selama kau percaya, hidupmu baik-baik saja maka kepercayaan itu akan membimbingmu pada jalan yang seharusnya.
Kau tahu sendiri kan, bahwa perbincangan dan kabar burung selalu terdengar lebih lantang dari fakta itu sendiri? Kuharap desir angin yang sampai pada telingamu takkan membuatmu percaya bahwa aku hilang kendali dan tak tahu berterima kasih untuk setiap usaha dan jerih payahmu. Terlebih stigma yang distimulasikan pada keadaan oleh tetangga cukup merobek gendang telinga, jika tidak kuat maka sobeklah pendengaran.
Terkait dengan hal yang menjurang pedih tersebut. Semoga tak kau benarkan duduk perkaranya, karena aku selalu tahu batasan dan seperti apa beratnya perjuanganmu. Keringat yang mengalir deras membasahi tubuhmu terkadang seperti kucuran air dari bak mandi.
O iya, hampir lupa … Bagaimana kabarmu hari ini, kudengar kau kemarin sakit dan beristirahat dari panjangnya denting waktu? Maaf jika anakmu ini jarang menghubungi apalagi bertanya tentang kabar baik dan buruk melalui jejaring sosial maupun surat kabar modern. Bukan tidak mau, hanya saja sudah jadi kebiasaan dari dulu. Kau tentu tahu sendiri, kehidupan anak kampung yang tahu kehidupan kota — tapi bukan berarti aku berbuat yang aneh-aneh. Bukan hal itu yang aku maksud, melainkan kebiasaan tanpa telepon seluler.
Waktu dulu, ketika masih Sekolah Dasar, Sekolah Menegah Pertama dan Atas tidak tahu yang namanya HP. Apalagi, surat biasa pun tak pernah kubuat untukmu. Aku cukup hafal, kau selalu bilang: Jaga diri dan belajar dengan benar. Tidak pernah kau tegaskan, harus berapa kali menghubungimu. — bukan berarti anakmu ini tidak ada inisiatif, melainkan cukup tahu kebiasaanmu.
Yah … Bagaimana perkembangan pekerjaanmu? Masih kerja sendiri atau sudah ada yang membantu? Semoga kau sehat selalu dan merasakan jerih payahmu dari perjuangan anakmu ini. Meskipun jika dihitung dan diibaratkan gundukan gunung keberhasilan, tidak ada kata cukup untuk membalasnya. Setidaknya kau tak perlu bersusah-payah lagi dalam hal pekerjaan dan mengurusi keluarga. Cukup istirahat dengan tenang, menunggu anakmu pulang kerja.
O iya Yah … Bagaimana kabar Ibu dan saudara-saudaraku di sana? Ibu masih sering bilang dan mempertanyakan kepulanganku gak? Karena setiap kali nelpon pasti ditanya: Kapan pulang, sudah makan, dan semacamnya? Kau sering bilang kalau Ibu selalu rindu. Aku paham hal itu tapi ya mau bagaimana lagi, Yah? Ada sesuatu yang harus diselesaikan di sini sebelum akhirnya berjumpa dan bersama. Menenun tawa dan menghasilkan bahagia.
Ayah tentu tahu betul, kan? Baik kakak, adik, maupun aku selalu seperti balita kecil yang merindukan pelukannya. Tolong sampaikan salamku ini ya, setidaknya untuk sebuah kabar kepadanya.
“Bedeh rasa kerrong se tak bisa e obati e ate. Nyopre tak bu ambu saban bakto. Ana’en long mulong bakti se tak ma nyake’ ka ate. Mander e terima ben e berri’ paste sareng pangeran se ma cellep ate.”1
Sudah dulu ya Yah? Nanti kubuat surat lainnya untuk kamu. Kalau bukan mungkin kuhaturkan salam melalui puisi:
Se ma nyaman ateben ma cellep panas akal
bedeh rasa se tak paste
tak bisa e bitung are:
omor ben pateh
Nyopre saban are;
bile dateng bakto e budi are
mander gusti apareng rejeki
ma polong sa keluarga e kennengan se nyaman
soarge moga-moga e pa deddi ganti
amal dari arabat nak potona.2