Ritus & Langgam, Buku Bacaan --- Bumi seakan-akan tahu bahwa usianya tak lagi muda. Meski begitu, ia selalu mampu menjadikan belantara sebagai tempat ternyaman di beberapa sisi kota. Lihat saja Taman Braga Bandung, tempat pertama kali akrobatik kehidupan kupentaskan dan Yogyakarta dengan Pal Putih, corak budaya dicatat dalam halaman buku sejarah, menjadi ritus-ritus juga rutinitas mengenai pelesiran, dari satu sudut ke sudut lainnya yang senantiasa setia terjaga semalam suntuk.
Awalnya aku kira buku ini termasuk dalam kategori remaja. Tapi semakin mengentaskan halamannya, ia seperti sebuah masa pertumbuhan; seperti seorang anak yang tengah beranjak dari usia dini menuju proses matangnya; seperti sebuah musim, silih berganti yang kadang tak bisa ditebak kemarau atau musim penghujan. Tapi aku sarankan untuk membacanya sendiri, karena kesimpulan dari sebuah bacaan berbeda tiap-tiap orang. Ini hanya dari satu sudut pandangku saja.
Ada satu bab yag mengharuskanku berhenti cukup lama alasan pertama, untuk menulis ulasan singkat ini. Kedua, aku ingin mengamini doa-doa yang entah seperti apa yang dirapalkan penulis saat menulis Teman Seperjalanan dalam bab ketiga kumpulan cerpen Tentang Teman Seperjalanan. Sedangkan untuk alasan ketiga, karena ceritanya mengingatkanku akan sebuah masa silam, tentang sebuah kegagalan dan kesalahan fatal. Kisah yang dialami Cahyo dan Nita hampir sama meski kepulangannya berbeda.
Aku akan kutipkan beberapa penggalan yang diambil dari obrolan Tante Silvi dan Adisty:
"Kamu tahu bahwa ini adalah kali pertama sejak lima tahun perginya Nita, Cahyo datang ke sini. Ini kali pertama dia nyekar Nita. Di telepon, dia selalu bilang bahwa dia benar-benar merasa bersalah dan tak tahu harus bagaimana untuk meminta maaf. Bagi dia, Nita pergi itu karena ulahnya yang enggak peduli sama kondisi kesehatan Nita waktu itu".
Dan kutipan lain (masih di bab yang sama) tentang tafsir percakapan di atas bisa dibaca: "Kini aku tahu seberapa keras dia berjuang untuk menghapus dogma, bahwa orang yang ditinggal mati kekasihnya tidak akan pernah bisa mencintai orang lain lagi. Dalam riuh kepalaku yang enggan kunjung tenang, aku tersenyum senang. Bahwa sekarang bukan hanya dia tetapi juga ada seorang lain yang mempercayaiku untuk bisa menjadi teman seperjalanannya".
Cerita-cerita yang terkumpul dalam buku Tentang Teman Seperjalanan seperti kilasan sejarah dan proses pemulihan diri seseorang. Ia dengan cukup tangguh berupaya dan tak merasa getir meski kalut secara terus menerus menjadikan matanya berkabut.
Buku Tentang Teman Seperjalanan adalah ritual yang perlu kuingat waktu pelaksanaannya. Entah kenapa ceritanya seperti sugesti dan isyarat: kenangan menjadikan kita orang-orang yang tangguh, tak mudah rapuh. Ada perasaan, ditata sedemikian rupa agar tak lenyap begitu saja. Di beberapa bagian buku ini aku menemukan semacam elegi yang disampaikan dengan cukup sederhana.
Namun di sisi lain penulisnya ingin menegaskan: Ini adalah telenovela yang kurekam dan kureka sedemikian rupa untuk sebuah pembelajaran; mengingatnya sebagai sejarah dan cetakan-cetakan yang tergantung dalam kepala harus dijaga. Dirawat sedemikian rupa. Bukan untuk ditiadakan dan diistirahatkan cukup panjang sehingga berdebu, aku hanya ingin ia hidup dan tak pernah merasa diasingkan dari kehidupan. Itu saja.
Tentang Teman Seperjalanan (buku pertama Wahyu N. Cahyo) adalah kumpulan cerpen yang ditulis penuh perasaan dan sedikit emosional, di dalamnya memuat segudang, bahkan berhektar-hektar kejujuran. Mulai dari kisah masa remaja dan kenangan yang menolak menjadi renta. Senantiasa hidup, bersama pemiliknya. Ia menjadi sesuatu yang abadi, tumbuh dan di satu waktu tersedu-sedu, sendirian. Merapal doa, melangitkan amin.
Tema dalam buku ini tidak jauh berbeda dengan kebanyakan yang digagas oleh (hampir) seluruh penulis, yaitu tentang cinta. Hal-hal yang berkaitan dengan cinta takkan pernah selesai dibicarakan karena seperti kata WS. Renda dalam puisi Sajak-Sajak Cinta: Usia cinta lebih panjang daripada usia percintaan.
Jika usia cinta lebih panjang, maka tak salah ketika penulis (@cahyodreamer) masih mengekalkan kenangan dan beberapa kisah di masa lalunya. Sebab aku percaya, setiap penulis akan menyelipkan bagian-bagian kecil dari rahasia kehidupannya tanpa disadari. Bagaimana pun, ada alam bawah sadar dan kebiasaan-kebiasaan yang berusaha disampaikan oleh semua penulis kepada pembacanya: pesan dan kesan.
Oleh karenanya, aku tak mau mengomentari apakah buku ini layak atau tidak, karena dari beberapa aspek buku ini bisa memberikan beberapa pelajaran dan menjadi sebuah refleksi terkait hubungan serta bagaimana mengambil hikmah dari tragedi hidup. Tapi sebaliknya, akan menjadi sebuah buku yang tak layak ketika yang dipakai konsep perbandingan. Biarpun pada akhirnya aku akan tetap bilang: Silakan beli buku ini untuk menilai sendiri.