Hidup Untuk Cinta dan Kemanusiaan

Ritus & Langgam, Puisi & Prosa --- Hidup Untuk Cinta dan Kemanusiaan

Di jiwaku, ritus peribadatan bersemayam.
Di serambinya terhimpun sandi dan doa-doa.
Ada yang datang sekadar singgah.
Ada yang lupa pulang dan menetap dengan tabah.

Ada yang percaya cinta datang dari kasih Tuhan, tapi tak banyak yang mengerti bahwa sebenarnya ia adalah bentuk darma atas apa yang kita yakini. Kita berhak memilih dan memutuskan untuk mencintai siapa.

Pun kita punya hak untuk setia dan mendua, meski hal terakhir ini adalah kesalahan. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan oleh orang yang percaya bahwa mencintai dan dicintai adalah memberi segala yang dimiliki, menyempurnakan masing-masing diri dan mempertahankan apa yang telah dipilih sebelumnya.

Namun tak jarang, kan kita temukan cinta yang sepihak. Ada pula seseorang yang mencintai dengan tetap diam dan berserah diri kepada Tuhan. Orang yang memilih untuk mencintai dengan cara ini harus siap dengan kekecewaan dan berbesar hati.

Hatiku, muara kasih dan kau
deras air terjun pengunungan.
Sejuk, menghidupkan tubuhku.

Jalan masih panjang, tak perlu terburu-buru. Kita akan sampai di sana, berdua. Sedangkan mereka yang mendoakan, biarkan kelak kita membalasnya. Kebaikan akan tetap menjadi kebaikan, perlu dibalas dengan kasih. Niscayakan saja, cinta adalah apa yang tak perlu dipertanyakan; kita memberi dan menerima.

Mukimku, hamparan luas hatimu
Ragaku, menyatu bersama
di ritus cinta dan langgam jiwa.
Aku adalah semoga, tak alpa
dan tak banyak dibaca mereka.
Tapi abadi untukmu, sekarang dan nanti.

Di ayat pertama kita belajar membaca, menafsirkan, dan mempertanyakan seperti apa kebenaran. Pada nubuat dan epos yang banyak kita tahu, tapi kadang luput dimengerti maksudnya. Percayakan saja, segalanya. Untuk cinta dan hidup semakin lama. Kelak setelah segala petuah diterima dan mitos menjadi nyata. Hidup adalah sesuatu yang berarti daripada janji-janji surga dan karma neraka yang umum dibicarakan maupun difatwakan para wali.

Hari ini kita hidup untuk dunia, bukan untuk akhirat yang belum jelas ujungnya. Janji tetaplah janji dan perkataan "balak, pembalasan, dan imbalan" hanyalah pahit di ampas kopi. Sedangkan manis gula seperti "surga" yang diwartakan di atas mimbar-mimbar, ia tak lebih dari harum dari mawar selepas hujan.

Jadi hiduplah hari ini untuk cinta dan kemanusiaan kita, surga dan neraka tak lagi ada. Ia hanyalah upaya dan doa yang tak jelas perkaranya.

Yogyakarta, 22 & 24 Januari 2022

Moderator

Divisi yang mengurus bagian komentar, tulisan masuk dan pertanyaan terkait blog ini

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama