Ritus & Langgam - Beberapa orang percaya, hidup adalah tindakan baik dan budi yang luhur; mempersiapkan diri untuk akhiratnya; mati dan kemudian dihidupkan kembali. Tapi yang kadang luput disadari, "benarkah untuk selama ini, kita hanya diajarkan soal mati, bukan bertahan hidup. Mengapa segala sesuatu disandarkan pada baik-buruk, benar-salah, iman-kafir, dan surga-neraka?"
Lantas bagaimana dengan menjalani kehidupan dengan sebenar-benarnya, bukankah Tuhan Maha Mengetahui segala isi hati, benak pikir, tindak dan laku kita sebagai manusia?!
Akan tetapi, fakta yang ada saat ini adalah "kemahatuan dan sifat agung Tuhan seakan diambil alih manusia. Segala keputusan dan nilai dari seseorang tidak lagi menjadi keputusan Tuhan yang agung dan penuh dengan keniscayaan itu.
Bukankah, sebaik-baik manusia adalah ia yang mau menerima dan sebenar-benarnya tindakan orang yang beriman adalah dengan tetap memberi ruang untuk setiap orang mempertanyakan ulang keimanannya, agar tiada sesat jalan pikiran dan pilihan di hatinya?
Semakin dewasa umur ini, seakan-akan hanya diminta untuk menerima tanpa pernah sekalipun diberi kesempatan mempertanyakan soal kedirian dan kepastian yang tak bisa digambarkan. Semua yang diyakini seperti kefasikan, mengeluarkan diri dari kebenaran sejati.
Jika ingin mempertanyakan keimanan dan keyakinan, ada beberapa hal yang perlu kuajukan sebagai orang yang beriman berdasarkan garis keturunan.
Pertama, sejak kapan aku dikatakan beriman apalagi bersaksi bahwa Tuhan itu satu, Esa seperti yang disebutkan dalam sila pertama Pancasila atau yang termaktub dalam ajaran kitab suci.
Kedua, jika aku telah bersaksi tentang adanya Tuhan, lantas siapa yang menyaksikan keimananku ini. Sedangkan, aku sendiri tidak tahu Tuhan yang kuyakini siapa dan bagaimana menyanjungnya.
Ketiga, iman seperti apa dan bagaimana yang harus diyakini, jika tak ada pembenaran dan pembuktian di sana. Keempat, agama adalah pegangan, sedangkan iman adalah yang terpatri dalam hati. Menjadikan segala sesuatunya baik, memberi nilai atas apa yang masing-masing orang yakini. Tentunya, keimanan dan kadarnya tidaklah pernah sama antara satu dengan yang lain. Sepatutnya orang yang beriman harus mengenal dirinya sendiri dan yang diimani.
Tentu akan ada orang yang menyangkal tentang beberapa hal di atas dan berseloroh "ibadah dan peribadatan buktinya, luasnya bumi dan alam raya saksinya".
Maka biarkan aku kembali bertanya "apakah iman kita sama, bagaimana dulu kau bersaksi bahwa Tuhan yang diyakini itu ada dan bagaimana menjelaskan segala kadar ketidaktahuanku setelah hampir 27 tahun hidup ini.
Apa benar seperti ini Tuhan memperlakukan orang yang mempercayai-Nya, membiarkan ketidaktahuan mengungkung di tempurung kepala, dan hati berkecamuk tanpa sedikit pun merasa tenang dan bahagia?"
Banyak yang pandai berkomentar tapi sangat tak tahu malu karena yang dikomentari adalah sesuatu yang tak pernah dialami. Orang lain hanya melihat apa yang menurutnya benar, tapi tak dapat membuktikan nyata. Bahkan akan ada yang nyeletuk "adakalanya pertanyaan tak butuh jawaban". Lalu apa gunanya bertanya jika tak membutuhkan jawaban?
Beberapa orang merasa, tutur kata yang keluar dan tindak lakunya adalah surga. Sedang yang tampak di pelupuk mata adalah neraka, sebab tindak dan laku orang lain tak sesuai menurut pemahaman dan standar keyakinannya. Padahal keyakinan setiap orang berbeda, begitu pula dengan pemahamannya.
Beberapa pertanyaan (mungkin) bagi sebagian orang adalah sesuatu yang tak perlu dipertanyakan, tapi berbeda denganku yang memang percaya "hidup adalah menghamba, proses mengenal diri sendiri, dan kepada siapa segala usaha dan doa ditujukan".
Manusia banyak yang berusaha bijak, tapi ia tidak bajik dalam bertindak. Berakal tapi tidak berpikir, beriman tapi tak percaya.