Ritus & Langgam - Bagi sebagian orang yang memang gemar membaca, (mungkin) membeli buku sudah menjadi keharusan. Lalu bagaimana dengan mereka yang suka membaca tapi isi dompetnya tak selalu penuh. Jangankan untuk membeli buku, untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari saja masih meminta kepada orang tua?
Ide ini saya peroleh ketika membaca sebuah buku karya Paulo Coelho yang berjudul Sebelas Menit (Eleven Minutes). Buku ini menceritakan sebuah pencarian jati diri — seorang wanita muda bernama Maria — dan pemenuhan hidup di sebuah negeri jauh dari kata baik dan benar.
Pada sebuah cerita di buku ini, kutemukan sebuah kalimat seperti ini: Meski dia bisa saja membeli buku-buku, dia masih tetap pergi ke perpustakaan yang merupakan jembatan penghubungnya dengan dunia nyata yang lebih kokoh dan bertahan.
Sekilas muncul dalam pikiranku tentang sebuah pertanyaan: Untuk membaca buku, kita tidak perlu punya bukunya. Bukankah perpustakaan di masing-masing kota selalu ada dan di sana gambaran dunia muncul; dipertontonkan dan dikemukakan dengan banyak versi. Maka tidak ada alasan untuk berhenti membaca, karena membaca sama halnya dengan membangun satu sejarah dan menemukan sejarah-sejarah lainnya.
Judul tulisan ini sengaja dijadikan pertanyaan “Antara Membeli Buku dan Mengunjungi Perpustakaan?” karena saya paham, banyak dari orang-orang di dunia ini tidak memiliki cukup kesempatan untuk memenuhi rumahnya dengan buku tapi ada minat dan keinginan untuk terus mengonsumsi sebuah bacaan.
Jika kita mau melihat sedikit ke belakang, di sekolah-sekolah tempat kita belajar banyak terpampang kalimat “dengan membaca membuka jendela dunia” dan kalimat-kalimat lainnya yang bersifat mengajak untuk membaca. Tapi mungkin sebagian dari kita kurang memperhatikan dan bisa jadi urusan dunia yang lebih menggiurkan menutup ingatan kita akan hal itu. Memang membaca jika tidak diikuti kata lain di belakangnya bisa bermakna ganda, sebab membaca harus memahami segala bentuk, isi, tafsir, definisi, dan sejenisnya.
Urusan membaca buku tidak harus dengan membelinya apalagi mengoleksi sampai ribuan dan dibuat berjejer di dalam rumah. Jika kita memiliki inisiatif untuk membaca, pasti akan mencari cara bagaimana keinginan tersebut terpenuhi. Oleh karena itu, semoga kita bisa memanfaatkan perpustakaan yang kurang terjamah tersebut. Jangan ke perpustakaan hanya karena mau mengerjakan tugas akhir dan makalah-makalah saja, tapi cobalah mampir ke perpustakaan untuk membaca buku-buku yang menanti di sana.
Katanya menanti dan menunggu itu membosankan, lalu mengapa kita masih membiarkan buku-buku di perpustakaan itu menunggu tanpa kepastian? Bukankah sesuatu hal jika tidak disentuh akan lapuk, menua tanpa kenangan apa pun? Selamat mengingat-ingat kembali keinginan dan kemauan yang lupa kita sadarkan. Semoga setelah ini kita menemukan tujuan baru dan mulai berjalan dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya.
Siapa tahu dengan menyambangi perpustakaan yang ada di kota dan tempat mana pun bisa menjadi agenda tersendiri. Jalan-jalan itu tidak harus mewah tapi cukup dengan membuat kita merasa puas. Traveling itu tidak harus keliling dunia, cukupkan dengan berkeliling dari satu tempat yang dipenuhi buku. Siapa tahu kita mampu membuka tabir ketidakpastian logika dengan hal itu?
Bukankah sejarah selalu dipoles agar diterima oleh khalayak? Sama halnya dengan keinginanmu untuk membaca, poleslah sedikit dan biarkan ia menuntun ke tempat di mana kita tuju. Terakhir saya ucapkan selamat berjuang menemukan perpustakaan yang bisa mengajarkanmu, bahwa hidup adalah liberaly berjalan yang bisa kau ikuti jejaknya.