Opini - Mari kita bayangkan sejenak, duduk di sebuah warung kopi sambil menyeduh secangkir kopi Nusantara yang kental. Aroma harum kopi tersebut tak hanya menyegarkan pikiran, tapi juga mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang perjalanan ekonomi Indonesia yang panjang dan berliku. Dari masa pemerintahan Soekarno hingga era Jokowi, utang luar negeri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya bangsa ini dalam mencapai cita-cita kemakmuran.
Pada masa Soekarno, utang luar negeri mulai mengalir untuk mendanai berbagai proyek pembangunan infrastruktur dan industri. Tahun demi tahun, angka utang terus meningkat, dari US$ 3,5 miliar pada 1965 hingga mencapai US$ 22,3 miliar pada 1980 di era Soeharto. Pemerintahan Soeharto memanfaatkan utang luar negeri untuk proyek-proyek ambisius seperti pembangunan jalan tol, bendungan, dan elektrifikasi desa. Namun, krisis ekonomi pada akhir 1990-an membawa Indonesia ke dalam jeratan utang yang semakin dalam, mencapai US$ 137,1 miliar pada tahun 2000.
Reformasi membawa perubahan signifikan dalam pengelolaan utang dan ekonomi. Pada era Megawati, utang luar negeri sedikit menurun menjadi US$ 131,4 miliar pada 2004, namun kembali meningkat pada masa SBY, mencapai US$ 204,4 miliar pada 2014. Utang digunakan untuk mendukung berbagai program pembangunan seperti infrastruktur transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
Memasuki era Joko Widodo, utang luar negeri terus melonjak. Pada akhir masa jabatannya di tahun 2024, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 407,3 miliar. Meskipun jumlah ini terlihat mengkhawatirkan, pemerintah berkomitmen untuk mengelola utang secara hati-hati. Menurut Asisten Gubernur BI, Erwin Haryono, rasio utang terhadap PDB sebesar 29,8% masih dianggap sehat dan didominasi oleh utang jangka panjang.
Selain itu, pendapatan negara dari pajak telah mengalami peningkatan signifikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti pencapaian Direktorat Jenderal Pajak yang luar biasa. Dari Rp 13 triliun pada 1983 hingga mencapai Rp 1.988,9 triliun pada tahun 2024. Penerimaan pajak ini menjadi tulang punggung utama untuk membiayai berbagai program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, utang luar negeri tidak hanya digunakan untuk pembangunan fisik. Selama masa pemerintahan, dana ini juga disalurkan untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Misalnya, pada era Jokowi, sebagian besar utang digunakan untuk proyek infrastruktur besar seperti pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, dan pembangkit listrik. Selain itu, dana utang juga digunakan untuk program bantuan sosial, subsidi energi, dan penanganan pandemi COVID-19.
Dalam pidatonya pada Hari Pajak Nasional 2024, Sri Mulyani menegaskan bahwa pajak adalah tulang punggung penting bagi negara untuk mencapai cita-citanya. Penerimaan pajak yang meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam membangun ekonomi yang berkelanjutan. Namun, tantangan global seperti fluktuasi harga komoditas dan perubahan teknologi digital juga mempengaruhi penerimaan pajak.
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak, termasuk wajib pajak, untuk mencapai target penerimaan pajak. Meskipun penerimaan pajak sempat mengalami penurunan akibat melemahnya pajak penghasilan badan, optimisme tetap terjaga bahwa target tahun ini bisa tercapai dengan upaya bersama.
Menatap masa depan, pemerintahan Prabowo-Gibran dihadapkan pada tantangan besar untuk mengelola utang dan pendapatan negara secara efektif. Dengan warisan utang yang mencapai Rp 8.353 triliun, pemerintahan baru ini perlu menemukan keseimbangan antara melanjutkan proyek pembangunan yang vital dan menjaga stabilitas fiskal. Di tengah segala tantangan ini, harapan akan masa depan yang lebih baik tetap terjaga, seperti aroma kopi Nusantara yang selalu membangkitkan semangat dan inspirasi.