Opini - Selamat datang di Indonesia, di mana utang luar negeri bukan lagi sekadar angka, melainkan bagian dari identitas nasional kita! Bayangkan saja, dengan utang sebesar US$520 miliar, atau kalau mau lebih dramatis, Rp7.988,39 triliun, kita bisa membangun seribu Monas baru dan masih punya cukup uang untuk membeli kopi nusantara sepuasnya. Mari kita mulai dengan bank sentral yang begitu rajin menambah utang. Dari US$9,26 miliar pada Mei 2023, kini sudah naik menjadi US$18,78 miliar. Ini bukan sekadar naik, ini adalah lompatan akrobatik dalam dunia keuangan. Sebuah prestasi yang patut kita sambut dengan pesta pora.
Tentu saja, struktur utang kita tetap "sehat". Dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 29,8% dan dominasi utang jangka panjang yang mencapai 85,9%, kita bisa tidur nyenyak mengetahui bahwa utang ini akan tetap bersama kita untuk waktu yang sangat lama. Mungkin bisa diwariskan ke anak cucu, sebagai kenangan manis dari pemerintahan ini. Tak lupa, uluran tangan investor asing yang begitu percaya pada prospek ekonomi Indonesia. Mereka dengan senang hati membeli Surat Berharga Negara (SBN) kita, memastikan bahwa kita punya cukup uang untuk membangun proyek-proyek ambisius seperti Ibu Kota Nusantara (IKN). Sebuah proyek yang tentunya sangat mendesak, mengingat kondisi kita yang sudah sempurna di segala aspek lain.
Sejarah utang luar negeri Indonesia mencatat berbagai alokasi yang digunakan oleh pemerintahan dari masa ke masa. Era Soekarno (1945-1967) dimulai dengan utang sekitar US$2,3 miliar pada tahun 1965, yang digunakan untuk proyek pembangunan infrastruktur besar seperti stadion, monumen, dan jalan raya sebagai bagian dari visi besar Bung Karno untuk membangun bangsa yang mandiri dan merdeka. Pada masa Soeharto (1967-1998), utang meningkat signifikan dari US$2,5 miliar pada tahun 1967 menjadi US$150 miliar pada tahun 1998, terutama karena krisis ekonomi Asia. Pemerintahan Soeharto mengalokasikan utang untuk pembangunan industri, pertanian, dan proyek-proyek infrastruktur lainnya yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, era B.J. Habibie (1998-1999) tetap stabil di US$150 miliar, dengan fokus pada pemulihan ekonomi pasca-krisis. Era Abdurrahman Wahid (1999-2001) menunjukkan penurunan dari US$144 miliar pada tahun 2000 menjadi US$140 miliar pada tahun 2001, di mana utang digunakan untuk stabilisasi politik dan ekonomi dalam negeri. Era Megawati Soekarnoputri (2001-2004) melihat utang yang relatif stabil dari US$132 miliar pada tahun 2002 hingga US$134 miliar pada tahun 2004, dengan fokus pada pembangunan infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan.
Era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) menunjukkan peningkatan dari US$136 miliar pada tahun 2005 menjadi US$254 miliar pada tahun 2014. Pemerintahan SBY mengalokasikan utang untuk proyek-proyek infrastruktur besar, reformasi pendidikan, dan kesehatan. Terakhir, era Joko Widodo (2014-2024) menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dari US$297 miliar pada tahun 2015 hingga US$520 miliar pada tahun 2024. Pemerintahan Jokowi mengalokasikan utang untuk pembangunan infrastruktur besar-besaran, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, dan proyek ambisius lainnya termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).
Lihatlah bagaimana kita telah berkembang setiap tahunnya. Ini menunjukkan dedikasi kita dalam menjaga tradisi utang yang terus bertumbuh. Ekonom pun tak ketinggalan mengingatkan pemerintahan baru Prabowo-Gibran untuk efektif mengelola APBN. Tentu, dengan utang yang menyentuh Rp8.353 triliun, kita harus waspada agar tidak membentuk kabinet gemuk. Mengapa? Karena kabinet gemuk hanya akan menambah berat beban utang kita, dan siapa yang mau diet di tengah pesta utang ini?
Untungnya, Menteri Keuangan kita, Sri Mulyani, punya trik jitu dengan menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk menutupi defisit APBN. Bayangkan, kita punya uang lebih dari tahun-tahun sebelumnya! Menggunakan uang ini untuk menutupi utang tentu saja sangat bijak. Seperti menggunakan tabungan darurat untuk membeli tiket konser favorit, karena siapa yang butuh tabungan di masa depan?
Dan jangan lupa, warisan APBN dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo-Gibran memang tidak baik-baik saja. Tapi bukankah itu yang membuat hidup lebih menarik? Rasio utang terhadap PDB hampir 40 persen, sangat mendekati angka "warning" bagi para ekonom. Ini seperti bermain petak umpet dengan kebangkrutan – selalu ada ketegangan dan adrenalin yang membuat kita tetap waspada.
Mari kita lihat ke mana utang kita dihabiskan. Belanja negara pada semester satu 2024 mencapai Rp1.398 triliun atau 42% dari pagu APBN tahun 2024. Angka ini naik 11,3% dibandingkan realisasi belanja negara pada periode yang sama tahun sebelumnya. Dana tersebut dihabiskan untuk berbagai hal, antara lain: kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN) dan TNI Polri, gaji ke-13 ASN, pelaksanaan Pemilu 2024, bantuan sosial untuk mitigasi dampak El Nino dan perubahan iklim, serta pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Proyek ambisius yang akan menghabiskan triliunan rupiah, tapi setidaknya kita akan punya ibu kota baru yang bisa dibanggakan.
Pendapatan negara dari pajak juga menjadi andalan, meskipun sedikit lesu. Pada semester satu 2024, realisasi pendapatan negara mencapai Rp1.320 triliun atau 47,1% dari target APBN 2024. Sumber pendapatan ini berasal dari perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan penerimaan hibah. Meskipun mengalami penurunan sebesar 6,2% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, kita tetap optimis. Lagi pula, siapa yang butuh pendapatan tinggi ketika kita bisa mengandalkan utang?
Pendapatan dari pajak sendiri, meskipun sedikit lesu, tetap menjadi andalan. Kita mungkin belum bisa mencapai target rasio pajak 23% seperti yang diimpikan, tapi siapa tahu? Mungkin dengan sedikit doa dan banyak keberuntungan, kita bisa mencapainya. PNBP dan hibah juga memberikan kontribusi yang cukup lumayan, walaupun tidak sebesar utang luar negeri kita yang semakin membengkak.
Pada Hari Pajak Nasional, 14 Juli 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti pencapaian luar biasa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan selama beberapa dekade terakhir. Dalam acara Spectaxcular 2024 di Plaza Tenggara Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat, Sri Mulyani mengungkapkan bagaimana penerimaan pajak terus meningkat signifikan sejak tahun 1983. Pada saat itu, penerimaan pajak nasional hanya sebesar Rp13 triliun, jumlah yang sekarang bahkan lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan di level Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sri Mulyani menegaskan bahwa pajak adalah tulang punggung yang penting bagi sebuah negara untuk mencapai cita-citanya, seperti menjadi negara maju dan sejahtera. "Tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara," tegasnya.
Pada era reformasi sekitar tahun 1998 hingga 2000, penerimaan pajak Indonesia mencapai Rp400 triliun. Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan target penerimaan pajak pada tahun 2024 yang mencapai Rp1.988,9 triliun, kenaikan ini hampir lima kali lipat. Sri Mulyani juga menjelaskan bagaimana kondisi ekonomi global mempengaruhi perekonomian dalam negeri dan kinerja penerimaan pajak dari tahun ke tahun. Contohnya, pada tahun 1983 saat terjadi banjir minyak yang menyebabkan harga minyak naik menjadi US$24 dari US$12. Selain itu, pada tahun 2000, perubahan teknologi digital yang mengubah gaya hidup dan cara ekonomi bekerja juga mempengaruhi penerimaan pajak.
Di samping itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, juga menyampaikan optimismenya bahwa target penerimaan pajak pada tahun 2024 bisa tercapai. Suryo menekankan pentingnya kolaborasi seluruh pihak, termasuk wajib pajak, untuk mencapai target tersebut. "Kami sangat mengharapkan bantuan, upaya, kerja sama dari bapak dan ibu sekalian, bukan hanya yang ada di Direktorat Jenderal Pajak semata," kata Suryo. Kondisi perekonomian saat ini yang menghadapi tantangan, termasuk harga komoditas yang melemah, turut berdampak pada penerimaan pajak. Namun, Suryo tetap meyakini bahwa target penerimaan pajak tahun ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
Sebelumnya, pemerintah berhasil mengumpulkan setoran perpajakan sebesar Rp1.028 triliun sepanjang semester pertama 2024, yang mencapai 44,5 persen dari target di APBN 2024. Meskipun penerimaan tersebut lebih rendah dibandingkan periode tahun sebelumnya yang mencapai Rp1.105,6 triliun, Sri Mulyani menjelaskan bahwa penurunan ini disebabkan oleh menurunnya pajak penghasilan badan. Penerimaan perpajakan yang mencakup pajak dan cukai menunjukkan tren penurunan sebesar 7 persen secara year-on-year (yoy). Penerimaan pajak sendiri turun 7,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sedangkan penerimaan dari kepabeanan dan cukai mencapai Rp134,2 triliun atau 41,8 persen dari target di APBN 2024. Di tengah tantangan tersebut, optimisme tetap terjaga bahwa dengan upaya bersama, target penerimaan pajak tahun 2024 dapat tercapai, membawa Indonesia menuju cita-citanya sebagai negara yang lebih maju dan sejahtera.
Jadi, mari kita nikmati setiap momen ini. Dengan secangkir kopi nusantara di tangan, kita bisa merenungi betapa utang ini membawa warna dalam kehidupan kita. Karena, di Indonesia, utang bukan hanya beban, tapi juga bagian dari petualangan besar yang kita jalani bersama. Selamat menikmati perjalanan ini, kawan!