Menghangatkan Diri di Tengah Bediding: Cerita Kehangatan Warga Yogyakarta di Musim Kemarau

Menghangatkan Diri di Tengah Bediding Cerita Kehangatan Warga Yogyakarta di Musim Kemarau

Berita - Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pagi yang dingin terasa menusuk tulang. Fenomena bediding, yang membawa suhu udara turun menjadi 19 hingga 23 derajat Celsius, telah menyelimuti kota ini.

Kondisi ini, yang diperkirakan akan berlangsung hingga Agustus 2024, memaksa warga Yogyakarta untuk beradaptasi dan menemukan cara-cara unik untuk menjaga kehangatan serta menghadapi hari-hari yang dingin.

Di sebuah desa di lereng Gunung Merapi, seorang petani bernama Pak Slamet bangun lebih awal dari biasanya. Dia merapatkan sarung ke tubuhnya, berusaha mengusir dingin yang menyusup dari celah-celah dinding rumah bambunya.

"Setiap pagi, rasanya semakin dingin," katanya sambil menghangatkan tangan di dekat tungku kayu bakar. "Tapi kami harus tetap bekerja, sawah tidak bisa menunggu."

Pak Slamet dan istrinya, Bu Siti, punya rutinitas baru sejak bediding datang. Mereka menyeduh wedang jahe, minuman tradisional yang terbuat dari jahe, gula merah, dan rempah-rempah, untuk menghangatkan tubuh sebelum memulai aktivitas di ladang.

"Wedang jahe ini membantu kami melawan dingin dan menjaga stamina," ujar Bu Siti sambil tersenyum. Selain itu, mereka juga mengenakan pakaian berlapis dan menjaga asupan makanan bergizi untuk tetap fit selama bekerja di cuaca dingin.

Di pusat kota Yogyakarta, kehidupan tidak jauh berbeda. Sari, seorang ibu rumah tangga, menyulut arang di anglo (tungku tradisional) di depan rumahnya. Bau arang yang terbakar menguar, menciptakan atmosfer hangat yang mengundang tetangga untuk berkumpul.

"Kami sering berkumpul di sini, saling berbagi cerita sambil menikmati teh panas," kata Sari. Dalam kehangatan komunitas ini, ada rasa kebersamaan yang memperkuat ikatan sosial di tengah cuaca dingin.

Kehangatan juga datang dari aksi solidaritas warga. Sejumlah komunitas di Yogyakarta menggalang bantuan untuk mereka yang kurang mampu menghadapi cuaca dingin.

"Kami mengumpulkan selimut dan pakaian tebal untuk dibagikan kepada warga di daerah pegunungan yang suhunya lebih ekstrem," ujar Andi, salah satu penggerak komunitas sosial. Aksi ini tidak hanya membantu secara fisik tetapi juga mengangkat semangat gotong royong yang kuat di masyarakat.

Etik Setyaningrum, Kepala Kelompok Data dan Informasi Stasiun Klimatologi DIY, mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan di tengah suhu dingin ini.

"Pastikan tubuh tetap terhidrasi dan konsumsi makanan hangat untuk menjaga imunitas," katanya. Dia juga menekankan pentingnya menggunakan pelembap kulit untuk menghindari kekeringan yang sering terjadi saat cuaca dingin. 

Kesehatan masyarakat menjadi perhatian utama, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Warjono, Kepala Stasiun Meteorologi BMKG DIY, menjelaskan bahwa bediding ini disebabkan oleh Monsoon Dingin Australia yang membawa udara dingin dan kering ke wilayah Indonesia.

"Fenomena ini akan berlangsung hingga Agustus, jadi masyarakat harus terus waspada dan mengambil langkah-langkah pencegahan," ujarnya.

Sektor pertanian DIY juga tidak luput dari dampak fenomena bediding. Suhu dingin yang berlangsung lama dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, terutama di wilayah pegunungan seperti Dieng. Di Dieng, suhu dapat mencapai nol derajat Celsius, menyebabkan embun upas yang tampak seperti salju, yang berpotensi merusak tanaman. Petani harus lebih cermat dalam mengelola lahan dan tanaman mereka agar tetap produktif di tengah kondisi cuaca yang ekstrem.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyatakan bahwa perubahan cuaca ekstrem seperti bediding dapat berdampak signifikan pada sektor pertanian.

“Petani adalah kelompok yang paling terdampak, dan jika kita tidak berhasil melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, diprediksi akan terjadi krisis pangan global pada pertengahan abad ini,” ujarnya.

Tantangan ini mendorong pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mencari solusi dan inovasi yang dapat mendukung keberlanjutan pertanian.

Meski suhu dingin membawa tantangan, warga Yogyakarta menemukan cara untuk tetap hangat, baik secara fisik maupun emosional. Di warung-warung angkringan, obrolan hangat dan tawa riang selalu terdengar, mengusir dinginnya malam. Di rumah-rumah, keluarga berkumpul di sekitar tungku, saling berbagi cerita dan kehangatan. Kebersamaan ini menjadi kunci untuk melewati hari-hari dingin dengan semangat dan optimisme.

Di tengah dinginnya fenomena bediding, semangat gotong royong dan solidaritas warga Yogyakarta menjadi sumber kehangatan yang sejati. Seperti yang dikatakan Pak Slamet, "Dingin begini, kita harus saling menghangatkan, bukan hanya dengan selimut, tapi juga dengan kebersamaan."

Kehangatan ini tidak hanya menghangatkan tubuh tetapi juga menguatkan ikatan sosial yang ada di masyarakat Yogyakarta, menjadikan mereka lebih tangguh dalam menghadapi tantangan cuaca ekstrem.

Achmad Fauzy Hawi

Sering mendengarkan daripada bercerita, lebih banyak minum kopi hitam daripada menulis. Bisa dijumpai juga di sosial media dengan akun Achmad Fauzy Hawi

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama