Berita - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami fenomena bediding, sebuah kondisi suhu udara dingin yang terjadi pada puncak musim kemarau. Fenomena ini telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan warga. Investigasi ini menelusuri penyebab, dampak, dan langkah-langkah yang diambil untuk menghadapi suhu ekstrem tersebut.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY mencatat bahwa suhu udara di DIY berkisar antara 19 hingga 23 derajat Celsius, dengan kelembapan udara minimum mencapai 47 hingga 51 persen selama periode 5 hingga 14 Juli 2024.
Kepala Stasiun Meteorologi BMKG DIY, Warjono, menjelaskan bahwa fenomena bediding disebabkan oleh pergerakan massa udara dari Australia yang membawa udara dingin dan kering ke Asia, dikenal sebagai Monsoon Dingin Australia.
"Monsoon Dingin Australia ini membawa udara dingin dan kering melintasi Indonesia, mengakibatkan suhu turun drastis, terutama di malam hari," jelas Warjono.
Selain itu, minimnya tutupan awan menyebabkan pantulan panas dari bumi langsung terlepas ke angkasa, menambah efek dingin.
Fenomena bediding tidak hanya dirasakan di Yogyakarta, tetapi juga di wilayah lain seperti Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara. Di Pegunungan Dieng, Wonosobo, suhu bahkan mencapai nol derajat Celsius, menyebabkan embun upas yang menyerupai salju.
Pak Slamet, seorang petani di lereng Gunung Merapi, merasakan dampak langsung dari suhu dingin ini.
"Tanaman menjadi lebih lambat tumbuh karena dingin, dan kami harus bekerja lebih keras untuk menjaga kesehatan tanaman," katanya.
Kondisi ini juga mempengaruhi kesehatan warga, terutama anak-anak dan lansia. "Kami melihat peningkatan kasus flu dan masalah pernapasan akibat suhu dingin," ungkap Dr. Ratna, seorang dokter di Puskesmas setempat.
Etik Setyaningrum, Kepala Kelompok Data dan Informasi Stasiun Klimatologi DIY, mengimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan dengan mengonsumsi makanan dan minuman hangat serta menggunakan pelembap kulit.
"Pastikan tubuh tetap terhidrasi dan gunakan pakaian tebal saat malam hari," sarannya.
Selain itu, berbagai komunitas di Yogyakarta menggalang bantuan berupa selimut dan pakaian tebal untuk dibagikan kepada warga yang kurang mampu.
"Kami ingin memastikan tidak ada yang kedinginan di tengah fenomena ini," kata Andi, seorang penggerak komunitas sosial.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyatakan bahwa perubahan cuaca ekstrem seperti bediding dapat berdampak signifikan pada sektor pertanian.
"Petani adalah kelompok yang paling terdampak, dan jika kita tidak berhasil melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, diprediksi akan terjadi krisis pangan global pada pertengahan abad ini," ujarnya.
Pemerintah daerah telah mengambil langkah-langkah preventif dengan melakukan koordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk memastikan suplai air bersih dan bantuan lainnya tersedia bagi wilayah yang rawan kekeringan.
"Kami siap menghadapi segala kemungkinan dan memastikan kebutuhan dasar warga terpenuhi," kata Kepala BPBD DIY.
Fenomena bediding yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya adalah sebuah tantangan yang memerlukan perhatian dan tindakan cepat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun suhu ekstrem membawa berbagai dampak negatif, upaya bersama dari pemerintah, komunitas, dan warga dapat membantu mengurangi risiko dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Dalam menghadapi fenomena cuaca ekstrem, kebersamaan dan solidaritas menjadi kunci untuk bertahan dan terus maju.