Menilik Kontroversi dan Konten Disturbing dalam Film Salo, or the 120 Days of Sodom

Menilik Kontroversi dan Konten Disturbing dalam Film Salo, or the 120 Days of Sodom

Resensi Film – Film terakhir karya Pier Paolo Pasolini, Salo, or the 120 Days of Sodom, menarik perhatian bukan karena kualitas sinematiknya, tetapi karena kontroversi yang menyertainya. Berdasarkan buku The 120 Days of Sodom karya Marquis de Sade, film ini terkenal dengan adegan-adegan disturbing yang membuatnya dilarang di berbagai negara. Tambahan lagi, kematian tragis Pasolini yang dibunuh beberapa hari sebelum perilisan film ini menambah sisi gelap dan rasa penasaran terhadap karya tersebut.

Secara keseluruhan, Salo menceritakan tentang para penganut fasis kaya raya yang menyekap sembilan remaja putra dan sembilan remaja putri. Dalam penyekapan di sebuah rumah besar, empat penganut fasis ini, dibantu beberapa pelacur senior, melakukan berbagai bentuk penyiksaan fisik dan mental, pemerkosaan, serta perlakuan tidak senonoh lainnya. Adegan-adegan penyiksaan dalam film ini memang cukup disturbing dan sulit diikuti. Namun, "Salo" bukanlah film paling menjijikkan sepanjang masa, meskipun dianggap sebagai salah satu yang paling "gila" di era 70-an.

Meskipun mengandung adegan-adegan yang menjijikkan, film ini mencoba untuk tetap sopan dan artistik. Bahkan dalam adegan paling ekstrim sekalipun (makan kotoran manusia), tidak ada kesan murahan yang terlihat. Ending film ini juga cukup gila dan sadis, meski tidak ditampilkan secara gamblang seperti film-film torture masa kini. Pada era itu, adegan-adegan tersebut sudah dianggap sangat sinting.

Namun, terlepas dari adegan-adegan menyesakkan tersebut, Salo bukanlah film yang bagus secara keseluruhan. Banyak adegan gagal dalam penyampaian dan jatuhnya membosankan serta tidak jelas. Adegan storytelling yang diulang berkali-kali menarik pada awalnya, tetapi semakin membosankan seiring berjalannya film. Adegan storytelling mengenai seks yang sama sekali tidak menggairahkan, terlalu banyak adegan yang buruk eksekusinya dan tidak jelas maksudnya. Mungkin Pasolini bermaksud menggunakan metafora, tetapi eksekusinya terlihat tidak rapi dan tidak enak ditonton. Ditambah lagi, akting para pemain yang kurang memadai.

Secara keseluruhan, Salo memang menawarkan adegan-adegan sinting pada masanya, tetapi bagi penonton masa kini, film ini hanya "cukup gila" dan selebihnya terasa membosankan serta sangat-sangat kurang.

Fakta dan Kontroversi Salo, or the 120 Days of Sodom

Salo, or the 120 Days of Sodom didasarkan pada buku yang sangat kontroversial, The 120 Days of Sodom oleh Marquis de Sade, yang sendiri adalah karya yang mengandung eksplorasi kekerasan dan depravasi seksual. Ketika film ini dirilis pada tahun 1975, banyak negara melarang penayangannya karena konten yang ekstrem. Kontroversi makin meningkat dengan kematian tragis sang sutradara, Pier Paolo Pasolini, yang dibunuh secara brutal hanya beberapa hari sebelum film ini rilis. Pasolini ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan, yang menambah aura kelam dan misteri seputar film ini. Fakta ini menjadikan "Salo" bukan hanya sebuah film, tetapi juga sebuah simbol dari akhir yang tragis dari seorang seniman yang berani menantang batas-batas moral dan sosial dalam karyanya.

Adapun perbedaan antara buku Salo, or the 120 Days of Sodom karya Marquis de Sade dan adaptasi filmnya oleh Pier Paolo Pasolini terletak pada beberapa hal:

Buku memiliki lebih banyak detail tentang kekejaman seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh empat bangsawan terhadap para korban mereka. Sade mengeksplorasi setiap aspek dari perbudakan dan kekuasaan yang mereka miliki. Adaptasi film, sementara tetap kontroversial, tidak mungkin mencakup semua detail yang ada dalam buku karena batasan waktu dan medium visualnya.

Film Pasolini menambahkan dimensi visual yang kuat ke cerita, dengan pengaturan yang dramatis dan penuh simbolisme. Penggunaan gambar dan audiovisual memberikan pengalaman yang berbeda daripada membaca teks.

Pasolini menggunakan adaptasinya untuk menyoroti tema-tema politik dan sosial yang relevan pada zamannya, seperti kritik terhadap fasisme, kapitalisme, dan korupsi kekuasaan. Ini bisa menjadi penekanan yang berbeda dibandingkan dengan fokus Sade pada eksplorasi ekstrem seksualitas dan kekuasaan.

Achmad Fauzy Hawi

Sering mendengarkan daripada bercerita, lebih banyak minum kopi hitam daripada menulis. Bisa dijumpai juga di sosial media dengan akun Achmad Fauzy Hawi

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama