Prolog Cerita - Jejak dan Ingatan

Jejak dan Ingatan
Ritus & Langgam - Di bawah rindang pohon Akasia, kita berbicara tentang cinta yang jauh di depan – tentang bagaimana kehidupan panjang dan angan-angan, sebuah rumah kecil penuh bunga-bunga di halamannya. Kehidupan yang (mungkin) bagi sebagian orang menjadi selumrah bintang dan bulan purnama yang tertutup awan kelabu. Tapi bagimu, ia adalah asa dan harapan yang sepanjang waktu hidup.

“Kelak, ketika Dewa-dewa tak lagi memiliki beban tanggungan dan tuntas masa tebusannya. Kuharap, langit masih seindah ini” – ujarku, sembari menggenggam tanganmu.

Di hari itu, bintang lebih cantik daripada biasanya dan bulan tampak lebih cerah, sedangkan dirimu lebih cantik dibanding hari-hari yang lalu.

Sudah dasawarsa hubungan ini. Banyak yang telah kita lalui bersama dan banyak pula cerita yang terukir, menjadi bukti bagaimana asa dan doa terus melambung tinggi. Kepada Tuhan, kita berserahdiri dan masing-masing keadaan menjadikan kita pantas untuk saling melengkapi.

“Jejak dan ingatan tentangmu
tersiar di antara gema-gema waktu
dan aku masih di sini, mencintaimu
dengan segenap asa dan rasaku.”


“Bagaimana ke depannya, kita sudah cukup lama bersama dan bisa dibilang mengetahui kebiasaan masing-masing. Akankah kau tetap mencintaiku seperti sediakala atau justru kelak kau akan berubah dan merasa bosan. Sanggupkah kau menerima kekurangan yang ada pada diriku dan apakah kau senantiasa menyayangiku, meski kelak kau tahu siapa aku?” – keluhmu setelah sekian waktu terdiam.

Aku cukup mengerti mengapa kau mengkhawatirkan hal itu. Bagimu, aku adalah lelaki yang tak terlalu banyak berbicara dan bercerita, lebih memilih diam meski terkadang bising kesahmu menjadi salah satu alasan, atau ketika kau banyak meminta hal yang sebenarnya bagiku hal biasa.

“Sayang, masihkah kau ingat bagaimana dulu kita berjumpa. Bukankah dulu pernah kusebutkan dan kukatakan dengan cukup jelas. Bagiku, mencintai seseorang cukup satu. Jika sudah kutetapkan pilihan, maka tiada yang lain selain engkau.” – sanggahku sedikit menenangkannya.

Masih kugenggam tangannya, kulihat raut wajahnya tampak sayu dan dipenuhi kekhawatiran. Sebenarnya aku mengerti apa yang dikhawatirkannya, dia sepenuhnya khawatir akan bagaimana latarbelakang yang kumiliki, anak dari seorang Kiai dan dikelilingi oleh orang-orang yang notabanenya penganut islam yang taat.

“Kamu, tahu kan? Tak perlulah kau pikirkan hal-hal di luar kemampuanmu. Aku sebagai pasanganmu akan tetap memperjuangkanmu. Aku tak pernah memaksakan kehendakku atau bagaimana orang lain memandangmu. Cukup kau tahu, cinta itu adalah bagaimana caraku belajar. Memperjuangkan dan memilikimu” – tambahku kemudian.

Bagian I

Gema laksana kumandang,
memanggilmu untuk kembali
pada masa lalu. Aku masih
mencintaimu seperti yang lalu-lalu.

Jejak dan ingatan
tentangmu yang dulu ceria,
tersenyum dan tertawa bersamaku
masih menjadi sesuatu yang paling kusenangi.

Waktu bergulir dan aku masih di sini
menunggu kedatanganmu. Pilu dan di hatiku
engkau masih kekasihku, meski kebenarannya
kau tak lagi di sampingku.

Bagian II

Dua pohon yang bertengger di Alun-Alun
seperti mitos kisah kita. Berpasangan
tapi kenyataannya berjarak.

Yogyakarta, 16 Agustus 2023
Ritus & Langgam

Manuskrip digital dan dokumentasi tulisan Achmad Fauzy Hawi

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama