Pada sebuah pasal, dikatakan dalam ayat-ayat yang tak banyak orang pahami. Cinta serupa dentum jantung, bergemuruh namun tak mengundang pasang. Selamanya diam tenang, meski gejolak datang bergantian. Dalam damai yang tak begitu banyak dipahami, cinta masih utuh dalam serupa perjalanan menuju tempat paling aman dan nyaman sebuah jiwa. Hidup bersama keselarasan pengetahuan.
Ada sebuah fakta yang tidak pernah disebutkan, dibagikan, dan dijelaskan sebab kenyataan tidak selalu bisa dirasakan dan diketahui kedudukannya seperti satu rumus kecil yang tidak banyak orang ketahui: “Cinta tidak membawa derita, yang ia bawa adalah bahagia”.
Cinta selalu tahu tempatnya dan tidak akan pernah keliru harus bertamu kepada siapa. Pun jika ada kesalahan, semata-mata adalah kegagalan kita sebagai manusia dalam memahami. Namun tidak jarang kebanyakan orang pura-pura mengerti, bersikap simpati dan menerima sebuah kesan yang sebenarnya bukan getar kebenaran.
Akhirnya mereka memupuk kepercayaan dengan pengetahuannya, berfatwa bahwa yang mereka pahami adalah kebenaran sejati dan segala aspek yang keluar dari orang lain menjadi kesalahan utuh atas perbuatannya sendiri. Jika memang hidup adalah perjalanan menuju dewasa, sudah seharusnya dewasa diraihnya tanpa pernah membuat stigma yang bisa disalahartikan kehidupan.
Hal ini banyak terjadi namun sukar disadari sebab hidup menurut kepercayaan adalah cinta yang bisa berganti musim — kemarau, hujan, semi, dan dingin — bukan sifat yang menjadi satu dengan kehidupan dan kewarasan. Mungkin yang harus ditekankan dan diingat kembali adalah: Kita hanya perlu berlayar, kembali ke peraduan dan merelakan segala kepedihan. Mungkin, di haluan kapal menuju selat antara kebahagiaan dan kesengsaraan akan ditemukan kata damai.