Opini - Revitalisasi dan relokasi pedagang kaki lima (PKL) ke Teras Malioboro 2 di Yogyakarta merupakan langkah yang signifikan dalam upaya menata ulang kawasan Malioboro. Namun, langkah ini tidak lepas dari berbagai kontroversi dan tantangan yang dihadapi oleh para pedagang yang terdampak. Investigasi ini berusaha mengungkap suara-suara pedagang yang sering kali terpinggirkan dalam proses modernisasi ini.
Salah satu aspek positif dari revitalisasi ini adalah penataan kawasan Malioboro yang menjadi lebih rapi dan tertata. Jalanan yang sebelumnya penuh dengan pedagang kaki lima kini menjadi lebih lega dan nyaman untuk pejalan kaki. Hal ini tentu meningkatkan estetika dan kenyamanan Malioboro sebagai salah satu ikon pariwisata Yogyakarta. Dengan adanya fasilitas yang lebih baik di Teras Malioboro 2, seperti atap, tempat duduk, dan penerangan yang memadai, baik pedagang maupun pengunjung dapat merasakan pengalaman berbelanja yang lebih nyaman.
Para pedagang yang sebelumnya harus menghadapi kondisi berjualan di trotoar yang sempit dan sering kali tidak memadai, kini mendapatkan tempat berjualan yang lebih layak. Teras Malioboro 2 memberikan fasilitas yang mendukung aktivitas perdagangan, yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan para pedagang. Ini adalah langkah maju dalam memberikan penghargaan dan dukungan kepada para pelaku usaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian lokal.
Dengan penataan yang lebih baik, kawasan Malioboro memiliki potensi untuk menjadi daya tarik wisata yang lebih kuat. Wisatawan akan merasa lebih aman dan nyaman saat berkunjung, yang pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah kunjungan dan kontribusi terhadap perekonomian lokal. Penataan ini juga sejalan dengan upaya untuk menjaga kebersihan dan ketertiban di kawasan wisata, yang sangat penting untuk citra Yogyakarta sebagai destinasi wisata yang menarik.
Namun, pada Sabtu malam (13/7/2024), Teras Malioboro 2 penuh sesak dengan pedagang yang berteriak, wajah-wajah mereka memancarkan campuran antara kemarahan dan keputusasaan. Kericuhan ini adalah puncak dari ketegangan yang telah lama membara antara para pedagang dan pemerintah. Banyak pedagang merasa bahwa hidup mereka berubah drastis sejak dipindahkan ke Teras Malioboro 2 dua tahun lalu.
Wiji, seorang pedagang yang telah berjualan di Malioboro selama lebih dari satu dekade, merasakan penurunan pendapatan yang signifikan. Dari omzet hingga Rp10 juta saat musim liburan, kini mencari Rp100.000 sehari sudah seperti menemukan oasis di tengah gurun. Dampak finansial ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka tetapi juga masa depan anak-anak mereka, seperti yang dialami Wiji dengan anaknya yang terpaksa berhenti kuliah karena kekurangan biaya.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyatakan bahwa relokasi ini bersifat sementara dan kesepakatan telah dicapai dengan para pedagang. Namun, kenyataannya, kesepakatan ini masih menuai perdebatan, terutama karena tidak melibatkan lembaga koperasi seperti Koperasi Tri Dharma. Arif Usman, Ketua Paguyuban Tri Dharma, merasa bahwa pemerintah tidak adil karena tidak melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan yang sangat mempengaruhi mata pencaharian mereka.
Di dalam Teras Malioboro 2, suasana panas dan sirkulasi pembeli yang tidak merata menambah beban bagi para pedagang. Pedagang yang memiliki lapak di bagian depan mungkin lebih beruntung, tetapi bagi mereka yang berada di belakang, hari demi hari bisa berlalu tanpa ada satu pun pembeli. Ini menunjukkan bahwa meskipun niat pemerintah adalah memberikan legalitas dan meningkatkan kenyamanan wisatawan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki.
Penjabat Wali Kota Jogja, Sugeng Purwanto, menegaskan tujuan penataan ini untuk kerapian dan kenyamanan wisatawan serta keuntungan bagi pedagang. Namun, janji-janji ini belum terasa bagi banyak pedagang yang justru mengalami penurunan pendapatan drastis. Mereka merasa diabaikan dan dipaksa menerima keputusan tanpa dilibatkan dalam prosesnya.
Harapan para pedagang sebenarnya sederhana: mereka hanya ingin pemerintah mendengarkan suara mereka dan melibatkan mereka dalam setiap proses relokasi. Wiji dan pedagang lainnya berharap ada titik terang dari perjuangan mereka. Mereka berharap suara mereka didengar dan kehidupan mereka bisa kembali membaik. "Kami hanya ingin hidup layak, bisa makan dan menyekolahkan anak-anak kami," ungkap Wiji dengan suara yang penuh harap.
Kisah para pedagang Teras Malioboro 2 adalah cerminan dari banyak cerita perjuangan rakyat kecil yang berjuang demi mempertahankan hidupnya. Di tengah modernisasi dan penataan kota, suara-suara mereka tidak boleh diabaikan. Mereka adalah bagian dari denyut nadi Malioboro yang selama ini menjadi ikon Yogyakarta. Semoga pemerintah dan pedagang bisa menemukan titik temu yang adil dan membawa kesejahteraan bagi semua.