Telenovela Dunia Nyata, Antara Ilusi dan Delusi

Seri Kesebelas Kehidupan dan Doa
Ritus & Langgam, Prosa --- Telenovela adalah sebuah ungkapan dalam sastra, biasanya disiarkan dalam bentuk media (televisi). Telenovela sendiri merupakan novel yang ditayangkan di layar televisi — menjadi beberapa episode. Lalu mengapa tulisan ini berjudul “Telenovel Dunia Nyata, Antara Ilusi dan Delusi”? Hal itulah yang coba dijawab oleh penulis melalui tulisan ini.

Kehidupan laksana sebuah permainan. Ada saatnya kita merasa lelah dan kalah, namun jauh dari semua itu selalu ada kesempatan-kesempatan. Kesempatan tersebut adalah cara Tuhan menguji, melihat, dan memutuskan apakah kita layak atau tidak untuk ditempatkan pada sebuah keadaan.

Bukan bermaksud mengatakan Tuhan pilih kasih atau semacamnya, akan tetapi setiap kedudukan hamba adalah sama. Yang membedakan adalah cara pandangnya mengenai kehidupan, adalah cara memilih jalan yang dianggapnya benar, dan bagaimana seharusnya sikap yang dilakukan ketika mendapatkan kesempatan baik maupun buruk; dalam hal ini dari sudut pandang manusia, bukan dari ketetapan Tuhan.

Sudah seharusnya hidup merupakan kelayakan bagi semuanya. Alam semesta dan segala isinya tidak lebih dari dekorasi panggung yang megah: Mementaskan pertunjukan-pertunjukan, seperti halnya telenovela yang biasa disiarkan, cerita dikemas sedemikian rupa tidak lebih dari “khotbah yang dilakukan para Kyai” kadang didengarkan dengan seksama dan kadang seperti buih menunggangi ombak.

Saya tidak ingin mengatakan semua manusia itu sejajar karena sejatinya hidup bukanlah tentang jenjang dan kepemilikan, melainkan tentang bakti yang diupayakan penuh kehati-hatian dan perhitungan. Tapi bukan berarti harus menghitung kebaikan-kebaikan yang dilakukan, ini sebatas asumsi yang dilakukan orang-orang awam seperti saya.

Skenario terburuk dalam kehidupan diciptakan oleh pikiran-pikiran kita sendiri. Ungkapan-ungkapan tentang mimpi, cita-cita maupun keinginan, semuanya tidak lebih dari ilusi dan delusi. Mengapa demikian? Karena hidup adalah soal-soal dan pasal-pasal; mencari kebenaran yang terkadang menyesatkan; mencari jawaban yang sebenarnya inti dari pertanyaan tidak pernah dimengerti ataupun dipahami secara pasti.

Telenovela yang Buruk dan Hidup yang Selalu Bersifat Baik

Pasal-pasal kehidupan sebenarnya sudah termaktub dalam cara pandang kita sebagai makhluk yang harus melakukan banyak perbaikan dan terkadang hal paling parah dari itu semua adalah kita melanggar batas apa yang telah dan akan kita lakukan. Kita sebagai manusia selalu berbuat khilaf dan itu mudah dipahami.

Manusia yang katanya makhluk paling sempurna dari yang lain, sejatinya adalah kelompok paling banyak melakukan kesalahan. Kita sering menyebutnya dengan kekhilafan seorang hamba dan taubat adalah satu-satunya cara menebus kekeliruan. Namun, yang paling nyata dari sifat dasar manusia adalah ingin selalu dianggap mampu, benar, dan paling cerdas dalam kumpulannya.

Kita tidak perlu memusingkan hidup yang baik itu seperti apa, karena pada dasarnya segala hal yang Tuhan berikan adalah kebaikan itu sendiri. Yang perlu diperhitungkan adalah bakti kita terhadap hidup ini, apakah sudah layak atau belum? Saya mengatakan begitu karena kehidupan seperti yang telah saya sebutkan di atas: Dekorasi panggung megah. Kita memang menjalani kehidupan di atas panggung yang sudah Tuhan beri. Panggung itu telah ada jauh sebelum kita memijak bumi.

Jauh sebelum dilahirkan, kita telah membuat kontrak kerja dengan Tuhan “akan menjadi siapa, hidup seperti apa, dan dengan pengetahuan yang bagaimana”. Akan tetapi, dari semua yang pernah disepakati sebelumnya adalah kita terlalu asyik dengan pilihan-pilihan baru, pengetahuan-pengetahuan baru, dan kehidupan yang baru.

Sebenarnya semua itu adalah bagian tersembunyi yang telah disiapkan Tuhan untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya. Jadi, hidup itu sudah digariskan dan kita tidak pernah memiliki kuasa untuk mengubahnya jika kita tidak berusaha mengenal diri sendiri dan siapa yang memberi usaha untuk kita. Selamat menjalani hidup yang kita pilih dan selamat berusaha untuk menjadi manusia yang seutuhnya. 

Yogyakarta, Agustus 2018

Achmad Fauzy Hawi

Sering mendengarkan daripada bercerita, lebih banyak minum kopi hitam daripada menulis. Bisa dijumpai juga di sosial media dengan akun Achmad Fauzy Hawi

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak

Lebih baru Lebih lama